JAKARTA - Pertumbuhan aset kripto di Indonesia terus menunjukkan tren positif. Meskipun demikian, industri kripto masih menghadapi tantangan besar, yakni kurangnya literasi tentang inklusivitas aset kripto.
Chief Compliance Officer (CCO) sekaligus Ketua Umum Aspakrindo-ABI, Robby mengatakan bahwa hal ini tercermin dalam sebuah riset yang diadakan Reku di Jawa-Bali tentang alasan masyarakat belum berinvestasi kripto.
Berdasarkan hasil riset tersebut, alasan utama masyarakat belum berinvestasi kripto adalah tingginya risiko (44 persen), disusul dengan tidak memahami fundamental (40 persen), tidak familiar dengan aset kripto (35 persen), banyaknya isu negatif (34 persen), dan fluktuasi harga yang tajam (31 persen).
“Ini menunjukkan bahwa aset kripto masih dianggap sebagai instrumen yang hanya cocok untuk investor dengan profil risiko yang tinggi. Padahal, setiap aset kripto memiliki karakteristiknya masing-masing,” kata Robby dalam pernyataannya, dikutip Kamis, 30 Mei.
Robby pun menjelaskan bahwa terdapat aset kripto dengan fluktuasi yang tergolong landai, sehingga cocok untuk investor dengan profil risiko menengah. Ada juga strategi yang bisa dimanfaatkan oleh investor jangka panjang, misalnya staking.
BACA JUGA:
“Sehingga, ini tergantung bagaimana kita menemukan kecocokan aset kripto dengan profil risiko dan tujuan investasi,” jelas Robby lebih lanjut.
Oleh karena itu, literasi dan edukasi masih perlu terus ditingkatkan untuk memaksimalkan pemahaman masyarakat dan meningkatkan adopsi kripto di Indonesia.
Untuk mengupayakan hal tersebut, Kepala Biro Pembinaan dan Pengembangan Perdagangan Berjangka Komoditi BAPPEBTI Tirta Karma Sanjaya, menyampaikan sebelum berinvestasi “Do your Own Research” dan memastikan memilih platform legal yang terdaftar di Bappebti dan gunakan uang dingin sebelum mengambil keputusan.