JAKARTA - Investigasi baru mengungkap bahwa TikTok, aplikasi video populer, mungkin telah mengirim data pengguna AS ke perusahaan induknya yang berbasis di Beijing, ByteDance. Hal ini memicu kekhawatiran serius tentang keamanan data dan privasi pengguna.
Mantan karyawan TikTok mengklaim bahwa mereka diperintahkan untuk mengirim spreadsheet yang berisi nama, email, data demografis, dan data lokasi pengguna AS ke ByteDance. Klaim ini berlawanan dengan pernyataan TikTok yang sebelumnya mengatakan bahwa mereka telah memutus sebagian besar hubungan dengan ByteDance.
Investigasi ini muncul di tengah kekhawatiran politik di AS tentang potensi pengaruh China terhadap TikTok. Kongres AS baru-baru ini meloloskan undang-undang yang memaksa TikTok untuk memisahkan diri dari ByteDance.
TikTok membantah klaim ini dengan menyebutnya sebagai "pemalsuan" dari "mantan karyawan yang tidak puas." Namun, beberapa mantan karyawan lainnya juga mengklaim bahwa TikTok masih memiliki hubungan erat dengan ByteDance.
Beberapa ahli keamanan siber menyatakan keprihatinan mereka tentang potensi penyalahgunaan data pengguna AS oleh pemerintah China. Mereka mengatakan bahwa data pribadi dapat digunakan untuk melacak pengguna, memanipulasi opini publik, atau bahkan membahayakan mereka.
BACA JUGA:
Di sisi lain, beberapa ahli lain berpendapat bahwa berbagi data antar perusahaan besar mungkin lumrah dan tidak selalu berbahaya. Mereka mengatakan bahwa TikTok mungkin hanya lambat dalam menerapkan prosedur baru untuk melindungi data pengguna.
Terlepas dari perdebatan, larangan TikTok di AS semakin dekat. DPR AS telah menyetujui RUU yang memaksa ByteDance untuk menjual saham mayoritasnya di TikTok ke perusahaan AS atau menghadapi larangan. Presiden AS Joe Biden telah menyatakan niatnya untuk menandatangani RUU ini menjadi undang-undang.
Kasus ini menimbulkan pertanyaan penting tentang keamanan data pengguna di era digital. Penting bagi pengguna untuk menyadari potensi risiko dan mengambil langkah-langkah untuk melindungi privasi mereka.