JAKARTA — Summit Institute for Development (SID) menggelar Pelatihan Kapasitas Kabupaten Berkemampuan Digital untuk Pengenalan Interoperabilitas dan Fast Healthcare Interoperability Resources (FHIR).
Program pelatihan ini merupakan hasil kerja sama antara SID dan Digital Transformation Office (DTO) dari Kementrian Kesehatan. Program ini diikuti oleh 44 peserta dari Dinas Kesehatan dan Dinas Komunikasi di delapan provinsi.
Selama dua hari, mulai tanggal 27 hingga 28 Februari, para peserta mempelajari tentang kemampuan interoperabilitas dari berbagai aplikasi layanan kesehatan berbasis FHIR dan standardisasi untuk rekam medis elektronik.
SID, sebagai organisasi non-profit di bidang kesehatan, menyadari bahwa pelatihan ini sangat penting. Dengan mempelajari sistem interoperabilitas, kesenjangan pelayanan kesehatan bagi masyarakat diharapkan akan segera teratasi.
“Kita berharap agar kabupaten berkemampuan digital sehingga dapat menggunakan data for action. Misalnya jika ditemukan ada kesenjangan dalam pelayanan kesehatan masyarakat, tenaga garis depan seperti bidan, perawat, dokter, dan kader dapat segera menutupi kesenjangan tersebut," kata CEO SID, Yuni Dwi Setiyawati, dalam keterangan yang VOI terima.
Saat ini, ada ratusan aplikasi di tingkat pemerintah pusat dan daerah yang tidak terkoneksi atau tidak menggunakan sistem interoperabilitas. Hal ini membuat pemerintah daerah kesulitan dalam meningkatkan kualitas layanan dan performa tenaga medis.
Maka dari itu, sistem interoperabilitas sangat dibutuhkan. Dengan memanfaatkan ekosistem SATUSEHAT, platform integrasi kesehatan data, para peserta diharapkan mampu memahami dasar-dasar aplikasi, pencatatan, penggunaan, dan pertukaran data.
BACA JUGA:
Program pelatihan ini juga diharapkan dapat mempercepat proses digitalisasi layanan kesehatan. SID ingin menyederhanakan sistem pencatatan dan mengurangi beban kerja dengan menggunakan ekosistem SATUSEHAT.
Pihak dari DTO sepakat dengan tujuan dari program ini. Menurut Head of Data DTO Dymas Manggala, integrasi data dengan cara yang cepat ini sangat dibutuhkan. Dymas pun setuju dengan penggunaan sistem FHIR.
“Kita memerlukan protokol atau pertukaran data karena tanpa adanya integrasi data, pemerintah agak sulit menyampaikan data karena membutuhkan waktu untuk mendapatkan data dan intervensi akan sulit. Kenapa kami menggunakan FHIR karena itu standar pertukaran data yang dapat digunakan juga di Indonesia," jelas Dymas.