Pegawai Google Akui ‘Dilecehkan’ Perusahaan Karena Dukung Palestina
Pegawai Google beragam Muslim dan berasal dari negara Muslim mengaku dilecehkan perusahaan (foto: dok. Google)

Bagikan:

JAKARTA – Pada Kamis, 9 November, kelompok pegawai Google merilis surat terbuka di Medium dan mengadu kepada publik bahwa mereka telah dilecehkan oleh sejumlah pegawai Google.

Kelompok ini merahasiakan identitas mereka, tetapi mereka menyatakan bahwa, “Kami adalah pegawai Google yang beragama Islam, Palestina, dan Arab, serta rekan-rekan Yahudi yang anti-Zionis.”

Sesuai dengan judul suratnya, mereka mengaku telah mengalami bentuk kebencian, pelecehan, dan pembalasan di Google karena agama dan latar belakang mereka. Selama waktu yang tidak dijelaskan, mereka telah diperlakukan secara tidak pantas.

“Umat ​​Islam telah mengalami tuduhan mendukung terorisme sebagai bagian dari agama mereka dan terkait dengan fitnah terhadap Nabi Muhammad,” tulis kelompok tersebut, dikutip langsung dari Medium.

Mereka menyatakan bahwa tindakan mencaci-maki itu dilakukan di platform kerja, tetapi tidak ada pimpinan Google yang bertindak. Bahkan, sejumlah manajer Google menyebut karyawannya sakit karena berempati kepada warga Gaza.

Menurut para manajer Google, menunjukkan empati ke warga Gaza merupakan tindakan yang sia-sia. Mereka juga bertanya secara langsung kepada pegawai dari Arab dan beragama Muslim apakah mereka mendukung Hamas.

“Ada upaya terkoordinasi untuk mengintai kehidupan publik para pekerja yang bersimpati pada Palestina dan melaporkan mereka ke Google dan penegak hukum karena mendukung terorisme,” tambah mereka.

Atas seluruh ketidaknyamanan yang telah mereka rasakan, kelompok rahasia ini menuntut CEO Google, Sundar Pichai, CEO Google Cloud, Thomas Kurian, dan seluruh pemimpin senior lainnya untuk mengutuk tegas tindakan genosida di Palestina.

Selain itu, mereka juga mendesak para pimpinan untuk menghentikan Proyek Nimbus. Pasalnya, proyek ini akan membantu militer Israel dengan memasok Kecerdasan Buatan (AI) dan teknologi canggih senilai 1,2 miliar dolar AS (Rp18 triliun).