Bagikan:

JAKARTA - Perkembangan teknologi Artificial Intelligence (AI) atau kecerdasan buatan, makin canggih dan juga mengkhawatirkan. Sampai-sampai beberapa petinggi perusahaan teknologi, OpenAI yang digawangi Elon Musk merasa khawatir untuk merilis produknya itu ke publik.

Melansir dari Techcrunch, CEO Tesla dan SpaceX, Elon Musk sejatinya adalah dedengkot pengusahan di bidang teknologi. Tak hanya mengembangkan Tesla atau pesawat luar angkasanya, Elon Musk juga mendirikan perusahaan digital berbasis kecerdasan buatan yang bisa dimanfaatkan oleh manusia.

Alih-alih bakal dirilis ke publik, Musk justru khawatir sistem AI yang dikembangkannya malah melampaui kemampuan manusia dan justru disalahgunakan. Hal tersebut diyakininya setelah melihat kemampuan sistem AI yang didesainnya bersama Sam Altman dan tim, berhasil mempelajari pola bahasa dari 8 juta halaman website secara cepat.

Hasilnya, sistem kecerdasan buatan bernama GPT-2 itu bisa membuat narasi teks palsu berkualitas tinggi. Sistem ini mampu membuat artikel berita dari topik tidak nyata dengan gaya penulisan yang tampak realistis dan runut, seolah-olah dibuat oleh manusia.

"Hal pertama yang harus kita asumsikan adalah kita sangat bodoh. Kita pasti bisa membuat hal-hal lebih pintar daripada diri kita sendiri," ungkap Musk setelah memutuskan untuk tidak merilis produk AI tersebut ke pasaran.

Bahkan tak menutup kemungkinan kecerdasan AI jauh lebih tinggi dan tak dapat dikendalikan oleh kita. Hal ini pula yang mendorongnya agar pengebangan sistem kecerdasan buatan untuk dibuatkan satu kebijakan regulasi.

"Apa yang akan Anda lakukan dalam situasi semacam itu? Saya tak yakin. Saya harap mereka baik," ujar Elon.

Lebih lanjut, ternyata teknologi AI ini tak hanya dikritik oleh Elon Musk, bahkan CEO Google Alphabet, Sundar Pichai juga telah memperingatkan bahaya AI. Ia menyerukan lebih banyak regulasi untuk teknologi tersebut sebelum terlambat.

Pichai juga pernah menulis tentang perkembangan positif yang dapat ditimbulkan AI, seperti penelitian terbaru Google yang menemukan bahwa AI dapat mendeteksi kanker payudara lebih akurat daripada dokter, atau proyek Google yang menggunakan AI untuk memprediksi curah hujan di area lokal secara lebih akurat.

"Sejarah penuh dengan contoh-contoh tentang bagaimana kebajikan teknologi tidak menjamin. Internet juga memungkinkan untuk terhubung dengan siapa saja dan mendapatkan informasi dari mana saja, tetapi juga lebih mudah menyebarkan informasi yang salah," kata Pichai.

Sebagai contoh, Pichai menunjuk peraturan yang ada seperti Peraturan Perlindungan Data Umum Eropa  sebagai titik awal untuk undang-undang di masa depan. Ia juga menekankan bahwa aturan seputar AI harus mempertimbangkan faktor-faktor seperti keamanan ketika menemukan cara untuk menyeimbangkan manfaat potensial dan bahaya perkembangan teknologi.

"Untuk sampai di sana, kita perlu kesepakatan tentang nilai-nilai inti. Perusahaan seperti kami tidak bisa hanya membangun teknologi baru yang menjanjikan dan membiarkan kekuatan pasar memutuskan bagaimana itu akan digunakan." ujar Pichai seraya merekomendasikan pengembangan proposal peraturan untuk penggunaan AI.