JAKARTA - Berbeda dengan langkah yang diambil Amerika Serikat (AS) dan Australia, Singapura memutuskan untuk mendukung penggunaan alat Kecerdasan Buatan (AI) seperti ChatGPT di sekolah. Tetapi, siswa tidak boleh bergantung dengan alat tersebut.
Menteri Pendidikan Singapura Chan Chun Sing menyatakan, seorang siswa harus memahami batasan teknologi itu. Sebab, baik ChatGPT dan alat AI generatif serupa menjadi lebih luas dari waktu ke waktu.
Maka dari itu, sekolah maupun lembaga pendidikan tinggi (IHL) harus bisa memanfaatkannya secara efektif agar dapat meningkatkan pembelajaran. Untuk mendukungnya, Chun Sing menambahkan, kementerian sudah menyediakan pendidik bimbingan dan sumber daya.
"Seperti halnya teknologi apa pun, ChatGPT dan alat AI generatif serupa menghadirkan peluang dan tantangan bagi pengguna," ungkap Chun Sing menanggapi pertanyaan dari Anggota Parlemen (MP) dalam rapat yang digelar kemarin.
"Ada kelompok diskusi profesional di antara para pendidik kami untuk mengeksplorasi penggunaannya dalam lingkungan pendidikan. Pada saat yang sama, para pendidik kami masih akan mengajar siswa untuk memahami konsep dasar dan membimbing siswa agar tidak terlalu bergantung pada alat teknologi," imbuhnya.
Chun Sing menyamakan alat AI generatif dengan bagaimana kalkulator mendukung siswa untuk belajar matematika, tetapi tidak menggantikan kebutuhan mereka yang harus lebih dahulu menguasai matematika dasar.
“ChatGPT dapat menjadi sarana pembelajaran yang bermanfaat hanya jika siswa telah menguasai konsep dasar dan keterampilan berpikir,” kata Chun Sing.
"Di dunia yang lebih tidak pasti, kita juga harus mengajari siswa kita untuk merangkul dan belajar bekerja dengan alat-alat dalam normal baru yang memiliki rentang hasil di luar hasil deterministik, seperti (yang dihasilkan oleh) kalkulator," tambahnya.
Namun, keputusan Chun Sing bukan tanpa kekhawatiran dari anggota parlemen, di mana mereka takut jika ChatGPT dapat dieskploitasi dan digunakan untuk membantu siswa menyontek. Mereka juga bertanya apakah ada perlindungan untuk mengurangi risiko seperti plagiarisme.
BACA JUGA:
Menanggapi hal itu, Chun Sing mengatakan para siswa harus disadarkan akan perlunya integritas dan konsekuensi plagiarisme. Sekolah juga diwajibkan mengadopsi berbagai proses untuk mendeteksi penyalahgunaan teknologi, seperti menilai kemampuan siswa dan mengidentifikasi jawaban tidak biasa yang dapat dihasilkan oleh AI.
Misalnya saja IHL, menggunakan berbagai cara untuk menilai kompetensi siswanya, termasuk presentasi dan ujian, sehingga mempersulit penggunaan AI untuk menghasilkan jawaban.
Pemerintah Singapura sering menekankan pentingnya membangun kepercayaan dengan penggunaan AI yang bertanggung jawab, untuk mempertahankan penerapannya dan mendapatkan manfaat terbesar dari teknologi tersebut.
Pada 2020, Badan Pengetahuan Etika & Tata Kelola AI dirilis untuk memberikan panduan referensi bagi bisnis lokal dan profesional TI tentang aspek etika pengembangan dan penerapan teknologi AI. Panduan ini dikembangkan berdasarkan Kerangka Tata Kelola Model AI Singapura, seperti dikutip dari ZDNet, Selasa, 7 Februari.
Singapura menjadi negara yang berbeda dari lainnya. Belum lama ini, sekolah di New York juga Australia telah melarang penggunaan ChatGPT karena kekhawatiran memberikan dampak negatif pada proses pembelajaran siswa.