JAKARTA - Gempa Cianjur, Senin 21 November, bisa dikatakan bukan gempa dengan kekuatan yang sangat besar. Apalagi jika dibandingkan dengan gempa-gempa dahsyat yang beberapa tahun terakhir terjadi Indonesia.
Namun gempa berkekuatan Magnitudo 5,6 tersebut, menimbulkan kerusakan yang cukup dahsyat bagi warga Cianjur dan sekitarnya.
Gempa pada Senin lalu, tepatnya pukul 13.21 WIB telah menelan korban jiwa yang mencapai 103 jiwa. Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Sukabumi juga mengungkap ratusan rumah rusak berat.
Ada beberapa penyebab mengapa jatuh korban cukup banyak. Misalnya karena tanah yang berada di kawasan gempa Cianjur memang rawan guncangan. Permukiman atau rumah yang dibangun pun kebanyakan tak tahan gempa. Kombinasi itu diduga membuat banyaknya kerusakan dan korban jiwa.
Warga meninggal dunia pasca gempa bumi di Kabupaten Cianjur, Provinsi Jawa Barat masih terus bertambah. Data per Selasa (22/11) pukul 09.55 WIB dilaporkan 103 orang meninggal dunia.#GempaBumi #GempaCianjur #BNPBIndonesia pic.twitter.com/6Ok3Aly0EM
— BNPB Indonesia (@BNPB_Indonesia) November 22, 2022
Selain itu, menurut keterangan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), gempa dengan kekuatan magnitudo 5,6 terletak di darat pada koordinat 107,05 BT dan 6,84 LS, berjarak sekitar 9,65 km barat daya Kota Cianjur atau 16,8 km timur laut Kota Sukabumi, tepatnya di darat wilayah Sukalarang, pada kedalaman 11 km, yang cukup dangkal.
Menurut BMKG per pukul 14.00 WIB, Senin, sudah ada 15 aktivitas gempa bumi susulan atau aftershock dengan magnitudo terbesar 4,0.
BMKG juga memaparkan, gempa Cianjur merupakan jenis gempa bumi dangkal yang diduga akibat aktivitas sesar Cimandiri. Hal tersebut berdasarkan analisis dari lokasi episenter dan kedalaman hiposenternya.
"Hasil analisis mekanisme sumber menunjukkan bahwa gempa bumi ini memiliki mekanisme pergerakan geser (strike-slip)," kata Kepala Pusat Gempa bumi dan Tsunami Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Daryono.
BACA JUGA:
Sementara Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral juga mengungkapkan morfologi wilayah pusat gempa di kawasan Cianjur tersebut pada umumnya berupa dataran hingga dataran bergelombang, perbukitan bergelombang hingga terjal yang terletak pada bagian tenggara Gunung Gede yang masih aktif.
Wilayah tersebut secara umum tersusun oleh endapan Kuarter, yang tergolong lunak dan belum kompak, yakni berupa batuan rombakan gunung api muda (breksi gunung api, lava, tuff) dan aluvial sungai. Sebagian batuan rombakan gunung api muda tersebut juga telah mengalami pelapukan.
Selain itu, morfologi perbukitan bergelombang hingga terjal yang tersusun oleh batuan yang telah mengalami pelapukan juga berpotensi terjadi gerakan tanah yang dapat dipicu oleh guncangan gempa bumi kuat dan curah hujan tinggi.
Berdasarkan posisi lokasi pusat gempa bumi, kedalaman dan data mekanisme sumber dari BMKG dan GeoForschungsZentrum (GFZ) Jerman, kejadian gempa bumi ini diakibatkan oleh aktivitas sesar aktif.
Sesar aktif tersebut hingga kini belum diketahui dengan baik karakteristiknya dan lokasinya berada pada bagian timur laut zona sesar Cimandiri.
Badan Geologi menyebut bencana gempa bumi yang menimpa Cianjur ini berpotensi mengakibatkan terjadinya bahaya sesar permukaan dan bahaya ikutan (collateral hazard) berupa retakan tanah, penurunan tanah, gerakan tanah dan likuefaksi.
Selain itu, Daryono juga mengungkap bahwa Cianjur adalah salah satu wilayah rawan gempa, sehingga saat terjadi gempa, kemungkinan terdapat kerusakan yang cukup parah.
Menurut Daryono, tak perlu gempa berkekuatan besar untuk menimbulkan kerusakan di kawasan tersebut. Terdapat sejumlah faktor yang membuat gempa M 5,6 sangat merusak di Sukabumi dan Cianjur:
1. Kedalaman gempa yang dangkal.
2. Struktur bangunan tidak memenuhi standar aman gempa.
3. Lokasi permukiman berada pada tanah lunak (local site effect-efek tapak) dan perbukitan (efek topografi).
"Wilayah Sukabumi, Cianjur, Lembang, Purwakarta, kawasan seismik aktif. Kawasan ini memang sering terjadi gempa," kata Daryono.
Menurutnya, kawasan ini merupakan daerah jalur gempa karena memiliki banyak sesar, di antaranya sesar Cimandiri, sesar Lembang, dan masih banyak sesar-sesar minor di wilayah tersebut.
BMKG, mencatat gempa di daerah ini sudah terjadi sejak zaman Belanda. Paling tidak, ada tiga gempa yang merusak saat era kolonial.
Misalnya, gempa 1884, gempa 1910 di Cianjur dan sekitarnya, kemudian gempa tahun 1912, yang menimbulkan banyak kerusakan di Cianjur dan Sukabumi. Bahkan gempa pada 1968 banyak mengakibatkan rumah roboh.