Bagikan:

JAKARTA - Grab, mempekerjakan 300 ahli teknologi informatika (TI). Hal tersebut dilakukan untuk meningkatkan kepercayaan pengguna terkait keamanan di aplikasinya. 

"Tim ini berbasis di lokasi R&D kami di Jakarta, Kuala Lumpur, Singapura, Bangalore, dan Seattle," ujar Head of Integrity (User Trust, Identity & Access Management, Safety, Grab Financial Risk), Wu Ngiap Foo, seperti dikutip dari Antara, Kamis, 19 November.

Grab berkomitmen untuk mencapai zero insiden yang dapat dicegah. Oleh sebab itu, Grab telah menghadirkan berbagai fitur baru, termasuk otentikasi wajah yang didukung teknologi kecerdasan buatan (AI).

Pengemudi diwajibkan melakukan swafoto secara real-time untuk verifikasi sebelum mereka memulai aktivitas online dan menerima pesanan untuk mencegah insiden, seperti berbagi akun mitra pengemudi yang tidak terdaftar atau menyewakan akun terdaftar.

Model machine learning ini dapat menentukan apakah wajah itu sesuai atau tidak berdasarkan gerakan dan pencahayaan. Sementara untuk penumpang, juga diminta melakukan swafoto untuk meminimalisir risiko, seperti pengguna yang mungkin menggunakan Grab untuk aktivitas ilegal.

Dalam masa pandemi saat ini, Grab juga mengadaptasi teknologi selfie untuk memverifikasi wajah dengan masker. Fitur ini telah diluncurkan selama waktu satu bulan, dan disebut tingkat akurasinya mencapai 99,5 persen.

Selain itu, Grab juga telah menghadirkan teknologi pemantauan perjalanan untuk mendeteksi kemungkinan insiden. Ada pula teknologi yang mendeteksi apabila mitra pengemudi melakukan screenshots terhadap identitas penumpang.

Secara garis besar, Grab mengambil pendekatan 360 derajat terhadap keamanan digital dengan strategi Risk dari Grab yang berfokus pada kesadaran pengguna dengan edukasi, teknologi dengan peningkatan metode otentikasi, serta kemitraan dengan pemerintah dan penegak hukum.

Grab juga terus mengembangkan inovasi teknologi dalam memastikan keamanan pengguna dan mitra pengemudi.

"Kami terus menambahkan intelligent authentications untuk memastikan keamanan digital dengan model machine learning. Kami juga belajar dari pengalaman kami, bahwa untuk memerangi penipuan, kita tidak bisa melawannya sendiri sebagai perusahaan," ujar Wu Ngiap Foo.

"Untuk membuat Asia Tenggara menjadi lokasi yang lebih aman secara digital, kami harus bekerja sama dengan platform digital lainnya serta untuk menurunkan tingkat penipuan secara keseluruhan di ekosistem digital Asia Tenggara," dia menambahkan.