JAKARTA - Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mencatat, tahun 2019 terdapat 1.871 pengaduan konsumen. Pengaduan terbagi menjadi dua yakni individual dan kelompok atau kolektif.
Pengaduan secara kelompok atau kolektif sebanyak 1.308 aduan dan secara individual sebanyak 563 aduan. YLKI mengambil 10 kategori aduan dari total angka tersebut yakni perbankan, pinjaman online, perumahan, belanja online, leasing, transportasi, kelistrikan, telekomunikasi, asuransi, dan pelayanan publik.
YLKI pun merinci, kasus tersebut didominasi oleh aduan terkait perbankan sebanyak 106 aduan, pinjaman online 96 aduan, perumahan 81 aduan dan belanja online mencapai 34 aduan.
Selain itu, leasing (32 aduan), transportasi (26 aduan), kelistrikan (24 aduan), telekomunikasi (23 aduan), asuransi (21 aduan) dan pelayanan publik mencapai 15 aduan.
Membahas mengenai 34 aduan pada belanja online, berdasarkan data YLKI, permasalahan belanja online terbagi menjadi delapan kategori. Pertama, barang pesanan tidak diterima sebanyak 28,2 persen. Kedua, barang pesanan tidak sesuai spesifikasi 15,3 persen. Ketiga, refund 15,3 persen.
"Keempat, sistem transaksi 12,8 persen. Kelima, penipuan 12,8 persen. Keenam, lain-lain sebesar 7,6 persen. Ketujuh, sistem server sebanyak 5,1 persen. Kemudian, pembajakan account 2,5 persen," ujar Staf Pengaduan YLKI Rio Priyambodo, di kantor YLKI, Jalan Duren Tiga, Jakarta Selatan, Selasa, 14 Januari.
Rio menjelaskan, pelaku usaha online yang paling banyak mendapatkan pengaduan adalah Bukalapak dengan prestasi pengaduan sebanyak 17,6 persen.
"JD.ID juga sama dengan Bukalapak 17,6 persen. Kemudian Shopee di urutan ketiga, 14,7 persen. Dilanjutkan Tokopedia 8,8 persen," tuturnya.
Rio melanjutkan, ada juga aduan e-commerce Harga Dunia 5,8 persen, OYO diangka 5,8 persen. Sementara, e-commerce terkait dengan jasa pariwisata Tiket.com 5,8 persen pengaduan. Booking.com, Etokobagus, Lazada, Nusatrip, Qoo1, Landor, Shopintar, dan Super Bela masing-masing 2,9 persen.
Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi mengatakan, rata-rata pengaduan terkait e-commerce yakni sulitnya pengaduan yang dilakukan konsumen karena komunikasi dengan mesin.
Tulus menyarankan, untuk mempermudah pengaduan konsumen terhadap pelaku usaha, maka harus ada interaksi dengan manusia. Menurutnya, memang mesin bentuk dari efektivitas dari teknologi digital, tetapi akses pengaduan terhadap manusia yang bisa lebih dinamis harusnya dibuka.
"Jadi kami meminta pemerintah untuk masing-masing marketplace itu menangani komplain melibatkan manusia. Ada SDM yang meng-handle karena mesin kan benda mati yang tidak bisa diajak kompromi," jelas Tulus.
Tulus mengaku, usulan untuk menyediakan tim penanganan pengaduan di masing-masing marketplace ini sudah sering disampaikan oleh pihaknya kepada para pelaku usaha.
"Tadi ada Whatsapp masuk, saya tidak tahu dari pemerintah atau apa, ada Bukalapak yang ingin bertemu saya. mendiskusikan soal ini," ucapnya.
Menurut Tulus, masalahnya tidak hanya di customer service yang tidak responsif, tetapi juga edukasi tentang penetrasi sistem. Menurutnya, karena literasi konsumen yang rendah ini akhirnya ketika bertransaksi banyak menemukan masalah.
"Jadi berangkat dari ketidakmengertian atau literasi konsumen yang rendah itu. Masih kurang lah. Di satu sisi gempuran digital ekonomi begitu tinggi dan masif, tetapi konsumen belum aware soal aspek-aspek yang harus dipahami," katanya.