Bagikan:

JAKARTA - Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Johnny G Plate, meyakini jika Undang-Undang Cipta Kerja tak hanya dilihat dari satu sisi saja, yakni ketenagakerjaan. Melainkan dapat juga memberikan perubahan signifikan dalam sektor penyiaran dan telekomunikasi. 

Johnny mengatakan, di sektor Telekomunikasi dan Penyiaran, setidaknya ada tiga regulasi yang diubah dan dimutakhirkan dengan keberadaan UU Cipta Kerja. Ketiga undang-undang itu antara lain adalah UU No.36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, UU No.32 Tahun 2020 tentang Penyiaran, dan UU No.38 Tahun 2009 tentang Pos.

"Pada sektor pos dan penyiaran, Undang-Undang Cipta Kerja mengubah dan menambah beberapa ketentuan pada tiga undang-undang," kata Johnny dalam keterangan persnya, Selasa, 6 Oktober.

Menurutnya ada tiga sejumlah hal fundamental yang saling mempengaruhi dari pengesahan UU Cipta Kerja. Salah satu yang dibahas Johnny adalah adanya dasar hukum migrasi penyiaran TV analog ke digital dan kepastian tenggat waktu analog switch off (ASO).

Dijelaskannya, ASO bisa membuat Indonesia mengejar ketertinggalan dalam pemanfaatan spektrum frekuensi 700MHz yang sekarang dimanfaatkan untuk penyiaran, di kemudian waktu bisa dipakai untuk kepentingan pendidikan, kesehatan, dan penanaganan kebencanaan.

"Menjadi tulang punggung ekonomi digital nasional karena tanpa infrastruktur dan dukungan kebijakan di sektor ini, ekonomi digital tidak akan bisa berlangsung," ungkapnya.

Kedua menurut Johnny, migrasi TV analog telah dipikirkan sejak tahun 2004, namun hingga sekarang belum terlaksana. Padahal kesepakatan internasional terkait dilaksanakannya ASO sudah sangat lama.

Kehadiran UU Cipta Kerja, menurut Johnny, penuntasan ASO ditetapkan paling lambat tahun 2022. Dengan dituntaskannya ASO, Indonesia bisa mengemat pita frekuensi 700MHz. Ketika TV analog diubah menjadi digital, ada penghematan frekuensi 700MHz sebesar 112MHz yang bisa dipakai, salah satunya untuk mobile broadband.

Johnny menilai dengan kehadiran UU Cipta Kerja bisa mendukung percepatan transformasi digital dan mencegah inefisiensi pemanfaatan sumber daya terbatas seperti spektrum frekuensi dan infrastruktur pasifnya.

"Infastruktur yang dibangun masing-masing pelaku industri telah menyebabkan biaya tinggi padahal dengan pendekatan infrastruktur sharing dan frekuensi sharing, industri dapat melakukan efisiensi optimal. Dengan kekuatan ini, industri telekomunikasi dalam negeri bisa bersiang dengan pemain global, termasuk OTT," kata Johnny.

Aturan baru ini juga memberikan kesempatan bagi pemegang perizinan berusaha yang menggunakan spektrum frekuensi radio untuk bekerja sama dengan penyelenggara telekomunikasi lainnya untuk penerapan teknologi baru. Salah satunya jaringan 5G, yang menjadi opsi kerjasama Indonesia dalam pengembangan teknologi.

"5G adalah salah satu milestone pertama yang berpotensi memanfaatkan ruang kerja sama ini. Fakta teknis bahwa terdapat kebutuhan ideal selebar 100MHz untuk tiap jaringan 5G yang dibangun dapat disikapi dengan bentuk kerja sama di antara pemegang izin frekuensi," tutur Johnny.