JAKARTA - Atase Pendidikan dan Kebudayaan KBRI Canberra bersama Indonesian Academics and Researchers Network Australia (IARNA) mempertemukan peneliti Indonesia dan Australia dalam webinar bertema “Recent Update on 3D Printing Technology for Concrete” di Canberra, Jumat (25/2).
Webinar tersebut menghadirkan Profesor Jay Sanjayan dari Swinburne University of Technology dan Associate Prof. Sotya Astutiningsih dari Universitas Indonesia (UI).
Atdikbud Canberra Mukhamad Najib dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Sabtu, menjelaskan tujuan acara itu adalah untuk memfasilitasi komunikasi antara peneliti Indonesia dan Australia dalam bidang yang sama sehingga bisa berlanjut dengan kolaborasi.
“Acara ini penting dilakukan agar peneliti Australia dan Indonesia bisa saling mengetahui perkembangan penelitian masing-masing, dan selanjutnya diharapkan mereka bisa berkomunikasi dan bekerja sama untuk melakukan penelitian bersama”, jelas Najib.
Topik yang dibahas dalam webinar itu, yakni aplikasi teknologi 3D printing dalam industri konstruksi yang sedang berkembang di Australia dan Indonesia.
“Indonesia dan Australia memiliki iklim yang berbeda, sehingga aplikasi teknologi ini untuk membuat bangunan tentunya memiliki tantangan yang berbeda, dan ini menarik untuk dijadikan topik penelitian bersama antara peneliti Australia dan Indonesia”, kata Najib seperti dilansir Antara.
Dia juga berharap acara itu bisa mendorong terjadinya transfer ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga penelitian-penelitian di Indonesia bisa berkembang pesat dan Indonesia bisa sejajar dengan Australia dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi.
BACA JUGA:
Director of Swinburne`s Center for Sustainable Infrastructure Jay Sanjayan mengatakan 3D printing merupakan teknologi printer tiga dimensi,yang bisa membuat gambar tiga dimensi di komputer dan dicetak dalam wujud tiga dimensi.
Teknologi ini, menurut dia, sudah diaplikasikan untuk membangun jembatan dan gedung di berbagai negara seperti di Inggris, Italia, China dan Australia sendiri.
Jay melihat sejak 1960an, produktivitas tenaga kerja industri konstruksi telah mengalami penurunan yang konsisten.
Ketika industri manufaktur sudah menerapkan teknologi digital, penginderaan jauh, teknologi otomatisasi dan robotik, sebagian besar industri konstruksi masih melakukan pekerjaannya secara manual. Sehingga ketika sektor lainnya sudah masuk ke Industri 4.0, sektor konstruksi masih belum sampai sana.
“Ditemukannya teknologi 3D printing dapat mendorong transformasi pada industri konstruksi. Saya yakin penggunaan teknologi 3D printing dalam industri konstruksi akan meningkatkan akurasi dalam mewujudkan konstruksi yang rumit, meningkatkan produktivitas, dan mengurangi biaya tenaga kerja”, jelas profesor yang mendalami kajian struktur beton ini.
Sementara dosen UI, Associate Prof. Sotya Astutiningsih, menyampaikan geopolymer adalah campuran beton di mana material semen digantikan oleh bahan sampingan seperti abu terbang, abu kulit padi, dan lain-lain, yang banyak mengandung silikon dan aluminium.
Menurut Sotya, geopolymer sebagai bahan konstruksi lebih berkelanjutan dibanding semen biasa. Selain itu juga sebagai bahan bangunan, geopolymer memiliki struktur yang lebih baik.
“Di Indonesia sendiri, teknologi 3D printer relatif masih baru. Kami di kampus masih menggunakannya dalam skala kecil atau skala laboratorium untuk membuat prototype. Namun begitu, saat ini sudah ada perusahaan rintisan di Indonesia yang sukses menggunakan teknologi 3D printer untuk membuat bangunan rumah tapak tipe 36,” katanya.
Dia menambahkan tantangan penggunaan teknologi 3D printing di Indonesia adalah cuaca karena suhu yang panas menyebabkan semen menjadi cepat kering dan mengeras. Jika itu terjadi di dalam printer, maka akan sulit untuk memperbaikinya. Untuk itu perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai komposisi bahan yang tepat untuk bisa membuat bangunan dengan teknologi 3D printing ini.