Bagikan:

JAKARTA - Serangan siber besar-besaran yang melumpuhkan puluhan situs web utama pemerintah Ukraina pekan lalu diduga adalah ulah Rusia. Kementerian Transformasi Digital Ukraina menuduh Rusia tengah memakai perang hibrida yang dimaksudkan untuk menggoyahkan situasi yang sudah tegang dan mengikis kepercayaan pada pemerintah Ukraina.

“Semua bukti menunjukkan Rusia berada di balik serangan siber. Moskow terus mengobarkan perang hibrida," ungkap Kementerian Transformasi Digital dalam keterangan resminya.

Pemerintah Ukraina mengatakan memiliki bukti bahwa Rusia berada di balik serangan siber besar-besaran tersebut. Tetapi, mereka tak membeberkan bukti apa yang mereka miliki.

Beberapa analis khawatir serangan siber ini bisa menjadi awal dari serangan militer. Namun pemerintah meminta warga Ukraina untuk tidak panik, dengan menyatakan informasi pribadi mereka aman dilindungi.

"(Tujuan serangan itu) tidak hanya untuk mengintimidasi masyarakat tetapi juga untuk mengacaukan situasi di Ukraina, menghentikan pekerjaan sektor publik dan menghancurkan kepercayaan Ukraina pada pihak berwenang," ujar Kementerian Transformasi Digital seperti dikutip dari The Guardian, Senin, 17 Januari.

Meski begitu, Rusia menolak tuduhan tersebut dan mengatakan tidak ada bukti akurat bahwa mereka berada di balik serangan tersebut.

“Kami tidak ada hubungannya dengan itu. Rusia tidak ada hubungannya dengan serangan siber ini. Ukraina menyalahkan segalanya di Rusia, bahkan cuaca buruk di negara mereka,” kata Juru Bicara Vladimir Putin, Dmitry Peskov, kepada CNN Internasional.

Pemerintah Ukraina dikatakan telah menemukan petunjuk awal bahwa dinas keamanan Rusia mungkin berada di balik serangan siber tersebut, dan menargetkan total 70 situs web pemerintah.

Sementara, Microsoft memperingatkan bahwa serangan siber dapat terbukti merusak dan memengaruhi lebih banyak organisasi daripada yang diperkirakan pada awalnya. Perusahaan akan terus menganalisis malware dan memperingatkan peristiwa ini dapat membuat infrastruktur digital pemerintah tidak dapat dioperasikan.

“Malware, yang dirancang agar terlihat seperti ransomware tetapi tidak memiliki mekanisme pemulihan tebusan, dimaksudkan untuk merusak dan dirancang untuk membuat perangkat yang ditargetkan tidak dapat dioperasikan daripada untuk mendapatkan uang tebusan,” jelas Microsoft.

Sayangnya, Microsoft belum mengidentifikasi pelaku di balik serangan itu tetapi memperingatkan bahwa jumlah organisasi yang terkena dampak dapat lebih besar dari yang diperkirakan sebelumnya.

"Tim investigasi kami telah mengidentifikasi malware pada lusinan sistem yang terkena dampak dan jumlah itu dapat bertambah seiring penyelidikan kami berlanjut," kata Microsoft.

“Sistem ini menjangkau beberapa organisasi pemerintah, nirlaba, dan teknologi informasi, semuanya berbasis di Ukraina. Kami tidak tahu tahap saat ini dari siklus operasional penyerang ini atau berapa banyak organisasi korban lainnya yang mungkin ada di Ukraina atau lokasi geografis lainnya,” tutur Microsoft.

Serangan terhadap langkah Bitcoin El Salvador oleh lembaga keuangan lama bukanlah hal baru. Pada November 2021, Dana Moneter Internasional (IMF) yang berbasis di Washington memperingatkan El Salvador agar tidak menggunakan Bitcoin sebagai alat pembayaran yang sah.

Sementara itu, Bank Dunia telah menolak permintaan bantuan negara tersebut dalam menerapkan Hukum Bitcoin atas dugaan masalah lingkungan dan transparansi mata uang kripto.

Namun demikian, El Salvador tetap teguh dalam merangkul Bitcoin dan dalam menciptakan lingkungan yang menarik bagi investor dan pengusaha kripto. Pekan lalu, Menteri Keuangan El Savador, Alejandro Zelaya, mengatakan UU Bitcoin negara itu telah menarik investasi asing.

Apalagi setelah warga El Savador yang tinggal di Amerika Serikat terus menyuarakan dukungannya pada Nayib Bukele yang telah mengadopsi Bitcoin sebagai pembayaran yang sah di negara itu. Bukele makin percaya diri dan cuek terhadap peringatan lembaga keuangan internasional.