Bagikan:

JAKARTA - YouTube kembali mendapatkan predikat sebagai platform tempat bersarangnya disinformasi dan misinformasi di seluruh dunia, termasuk informasi COVID-19. Karenanya, lebih dari 80 organisasi cek fakta di seluruh dunia, ingin perusahaan tersebut membuat kebijakan baru.

Mereka mendesak YouTube untuk mengambil tindakan terhadap kesalahan informasi COVID-19, yang masih tersebar di platform ini hingga sekarang, dua tahun setelah pandemi.

“Kami memantau bagaimana kebohongan menyebar secara online dan setiap hari, kami melihat bahwa YouTube adalah salah satu saluran utama disinformasi dan misinformasi online di seluruh dunia. Ini adalah perhatian yang signifikan di antara komunitas pemeriksa fakta global kami," ungkap organisasi dalam surat tersebut.

Organisasi cek fakta itu tersebar dari seluruh dunia saat ini telah menandatangani surat berupa desakan untuk YouTube. Surat itu muncul di tengah kekhawatiran yang sedang berlangsung tentang kesalahan informasi online, terutama terkait dengan pemilu dan klaim kesehatan.

Melansir TechCrunch, Kamis, 13 Januari, dikatakan mereka, bahwa informasi yang salah terkait kesehatan telah lama menemukan lahan subur di situs berbagi video milik Google itu, termasuk konten yang mendorong pasien kanker untuk melawan kondisi mereka dengan perawatan yang tidak divalidasi secara ilmiah.

“Pada tahun lalu, kami telah melihat kelompok konspirasi berkembang dan berkolaborasi lintas batas, termasuk gerakan Internasional yang dimulai di Jerman, melompat ke Spanyol dan menyebar ke seluruh Amerika Latin, semuanya di YouTube,” tulis organisasi dalam surat itu.

“Sementara itu, jutaan pengguna lain menonton video dalam bahasa Yunani dan Arab yang mendorong mereka untuk memboikot vaksinasi atau mengobati infeksi COVID-19 mereka dengan obat palsu," imbuhnya.

Di samping itu, organisasi juga memberikan solusi, dengan meminta YouTube harus menciptakan transparansi yang jauh lebih besar seputar kebijakan misinformasi dan disinformasi serta mendukung peneliti independen yang berspesialisasi dalam masalah tersebut.

Tidak hanya YouTube, Facebook dan Twitter juga lebih dahulu menghadapi pengawasan publik yang ketat atas penyebaran informasi yang salah di platform mereka, YouTube sering berhasil tidak terdeteksi.

Algoritme rekomendasinya telah memainkan peran aktif dalam mempromosikan klaim berbahaya dalam beberapa tahun terakhir, tetapi karena seperti TikTok, platform ini adalah video dan bukan berbasis teks, umumnya lebih sulit bagi peneliti untuk mempelajari.

Sebagai informasi, para organisasi cek fakta itu juga termasuk yang berbasis di Amerika Serikat (AS), seperti PolitiFact, The Washington Post Fact Checker dan Poynter's MediaWise, di samping Dubawa dan Africa Check dari Afrika, Fact Crescendo dan Factly India dan banyak lagi organisasi dari negara-negara termasuk Indonesia, Israel dan Turki.