Bagikan:

JAKARTA - Gedung Kejaksaan Agung mengalami kebakaran belum lama ini. Banyak spekulasi yang muncul terkait peristiwa tersebut, di mana warganet mengkhawatirkan soal berkas-berkas dokumen kasus yang ikut terbakar. 

Kendati, pihak Kejagung memastikan tidak ada berkas perkara yang terbakar. Namun peristiwa itu membuat kita sadar akan pentingnya prosedur pengarsipan dokumen, apalagi dalam bentuk data digital.

Menurut pengamat siber Pratama Persadha, pengarsipan dokumen secara digital sangat penting dilakukan untuk mengantisipasi kehilangan berkas dokumen akibat bencana alam, atau peristiwa kebakaran. Terlebih lembaga peradilan seperti Kejagung yang menyimpan banyak berkas perkara. 

"Digitalisasi dokumen memang seharusnya sudah dilakukan, mengikuti keinginan Presiden Joko Widodo untuk mengadopsi e-Governance," ungkap Pratama saat dihubungi VOI, Selasa 25 Agustus.

Kelapa Communication & Information System Security Research Center (CISSRec) itu menjelaskan, ada dua tantangan yang biasa dihadapi dalam proses pengarsipan digital. Pertama dengan mendokumentasi ulang berkas secara digital dari semua lembar dokumen fisik yang ada. 

"Misalnya saja dokumen hukum dan dokumen kepemilikan semuanya masih fisik lalu juga disimpan dalam bentuk file digital, bisa dengan format JPG, PDF maupun file lainnya," ujar Pratama.

Kedua, melakukan perpindahan dokumen sepenuhnya digital, namun, "hal ini masih sangat sulit dilakukan di Tanah Air, karena faktor teknologi maupun birokrasi yang belum siap," menurut Pratama.

Tujuannya tentu saja sebagai backup. Kendati demikian, Pratama mengatakan bahwa penggunaannya sendiri masih wajib menggunakan dokumen asli sejauh ini.

Digitalisasi Dokumen Masih Jarang Digunakan

Meski sebenarnya diperlukan, tetapi digitalisasi dokumen masih jarang digunakan karena terkait otentikasi. Seperti ketakutan akan mudahnya memalsukan produk digital.

Namun sebenarnya sudah ada solusinya, yaitu dengan digital signature. Artinya setiap pendokumentasian digital atau dokumen digital harus ada digital signature sehingga bisa dipastikan keasilannya, dan bisa dipakai saat di pengadilan maupun membantu proses pengurusan tanah dan semacamnya.

"Soal penggunaan dokumen digital, baik asli maupun hasil dokumentasi memang harus mendapatkan regulasi yang jelas. Bahkan sampai saat ini masih banyak lembaga yang tidak menerima dokumen dengan digital signature, padahal itu adalah usaha modernisasi birokrasi yang sudah dilakukan di berbagai negara," lanjut Pratama.

Oleh karena itu, digitalisasi dokumen di Tanah Air masih jarang diterapkan. Menyoal ini, Pratama mentatakan, "soal ini masih belum jelas. Karena memang aturan belum ada. Praktis dokumentasi dilakukan secara mandiri oleh beberapa lembaga, sebagai jalan backup bila terjadi sesuatu. Jadi lebih sebagai arsip, bukan sebagai dokumen resmi negara yang bisa digunakan," jelas Pratama.

"Padahal saat ini urusan kerjasama internasional sudah banyak menggunakan dokumen digital dan digital signature, sebuah kekurangan dari sisi birokrasi yang harus kita kejar," imbuhnya.

Kekhawatiran Dokumen Digital Diretas?

Dihubungi secara terpisah, Pengamat dan Pakar Teknologi Teguh Prasetya mengatakan bahwa dokumen digital jika diretas masih dapat dengan mudah ditelusuri jejak penjahat sibernya, dibandingkan dokumen fisik.

 "Dokumen digital kalau diretas tracing, tracking dan digital forensik nya lebih mudah dari dokumen kertas. Serta model pengamanannya juga bisa berlapis lapis tergantung pada kebutuhannya," ujar Teguh.

Di samping itu, Teguh juga meminta agar ada penyiapan Sumber Daya Manusia (SDM) yang teredukasi di dalam suatu lembaga, sehingga kemudian dapat menyiapkan proses digitalisasi dokumen yang teruji dan terupdate terus dengan penerapan teknologi sesuai dengan kebutuhan dan prioritasnya.