Australia Bikin UU yang Paksa Medsos Buka Kedok Troll Online
Pemerintah Australia akan segera memperkenalkan beberapa Undang-Undang (UU) "anti-troll" terberat di dunia. (foto: dok. unsplash)

Bagikan:

JAKARTA - Pemerintah Australia akan segera memperkenalkan beberapa Undang-Undang (UU) "anti-troll" terberat di dunia. Di mana, mereka akan memaksa platform media sosial membuka kedok siapa pelaku di balik troll itu.

Namun, para ahli berpendapat jika fokusnya hanya pencemaran nama baik, UU itu tidak akan membantu untuk mengekang tingkat intimidasi online atau kebencian di dunia maya.

Diumumkan oleh Perdana Menteri Australia, Scott Morrison, bahwa pemerintahnya akan memperkenalkan undang-undang ke parlemen minggu ini, yang akan membuat perusahaan media sosial mengungkapkan identitas akun trolling anonim dan menawarkan jalur untuk menuntut orang-orang itu atas pencemaran nama baik.

Dihimpun dari The Guardian, Senin, 29 November, di bawah aturan baru itu, UU akan mengharuskan perusahaan media sosial untuk mengumpulkan detail pribadi pengguna saat ini serta pengguna baru, dan memungkinkan pengadilan untuk mengakses identitas pengguna untuk meluncurkan kasus pencemaran nama baik.

Sayangnya, Morrison tidak menjelaskan data pribadi apa yang akan dikumpulkan tetapi ada indikasi bahwa itu akan mencakup nomor telepon, alamat email, dan nama kontak pengguna.

Selain itu, UU tersebut juga akan mengubah siapa yang bertanggung jawab atas unggahan yang memfitnah, dari organisasi yang menjalankan akun, seperti organisasi berita. Morrison menyatakan ingin adanya konsistensi antara aturan di dunia nyata dan dunia maya.

“Aturan yang ada di dunia nyata harus ada di dunia digital dan online. Dunia online seharusnya tidak menjadi barat yang liar, di mana bot dan fanatik dan troll dan lainnya dapat secara anonim berkeliling dan menyakiti orang dan menyakiti orang," ungkap Morrison.

Mengutip ZDNet, Direktur Eksekutif Digital Rights Watch, Lucie Krahulcova mengkritik perkembangan UU ini, dia mengatakan itu tidak berfokus untuk mengejar orang-orang yang memfitnah, melecehkan, atau melakukan kejahatan serupa secara online.

"Mereka sebenarnya tidak terlalu bersemangat untuk menegakkan (undang-undang yang ada) atas nama perempuan, orang kulit berwarna, dan secara historis saya pikir ada banyak bukti tentang itu di Australia," jelas Krahullcova.

"Ketika kita berbicara sekarang tentang serangan terhadap anonimitas, itu karena pria kulit putih tidak nyaman dengan kritik yang mereka dapatkan secara online. Dan itu bukan hanya politisi, itu juga reporter tertentu dan jenis bintang olahraga dan semacamnya. Justru karena masyarakat ini kelompok hak istimewa frustrasi dengan kritik," imbuhnya.