JAKARTA - Mobil listrik buatan China menjadi hambatan besar bagi produsen Eropa menggaet pasar karena harganya jauh lebih murah.
Bahkan, dikutip dari laman Carscoops, Senin, 30 Oktober harga rata-rata kendaraan listrik Tiongkok kurang dari setengah harga rata-rata kendaraan listrik buatan Amerika atau Eropa, sehingga kesenjangan harga terus melebar.
Berdasarkan studi yang dilakukan oleh JATO Dynamics, pada paruh pertama tahun 2023, rata-rata harga EV di Eropa itu mencapai 70.462 dolar AS, atau kisaran Rp1 miliaran, sebaliknya untuk harga kendaraan listrik China hanya setengahnya yakni 32.842 dollar AS atau Rp550 jutaan saja.
Banyak faktor yang menyebabkan perbandingan harga tersebut, misalnya pabrikan di luar China berinvestasi teknologi baterai lithium-ion yang mahal. Alhasil sebagian besar kendaraan listrik di segmen crossover dan SUV cenderung premium. Sementara itu, di China bahan kimia untuk baterai jauh lebih murah yang artinya mampu membantu menurunkan harga kendaraan listrik.
Namun, biaya produksi bukanlah satu-satunya faktor. Pemerintah China telah memberikan subsidi untuk pembelian kendaraan listrik secara signifikan. Meskipun negara-negara AS dan Eropa juga menawarkan keuntungan pajak, pendekatan China lebih berhasil dalam mengembangkan industri yang menawarkan beragam jenis kendaraan.
Jika diambil contoh, konsumen di Amerika Serikat dapat memilih 51 model kendaraan listrik dan untuk Eropa keseluruhan mencapai 135 model. Namun China jauh lebih banyak dengan menawarkan hingga 235 model, artinya ada kesenjangan pilihan mobil listrik, dan tak sedikit harganya jauh lebih murah.
Dengan menyasar pasar internasional, produsen mobil China memang menghadirkan kendaraan listrik dengan harga terjangkau dengan tujuan bisa mendapatkan pijakan di berbagai pasar atau ditawarkan lebih murah dibandingkan kompetitornya di seluruh dunia.
BACA JUGA:
Namun, ada beberapa sorotan terhadap kendaraan listrik murah dari China terutama dari sektor kesejahteraan pekerja pabrik. Tidak seperti di AS dan Eropa yang memiliki serikat pekerja yang kuat sehingga upah pekerja bisa dikontrol, di China malah menimbulkan pertanyaan tentang etika produksi yang menimbulkan kerugian bagi para pekerja.