Ambang Batas Turun, Politik Bergelombang
Mahkamah Konstitusi kembali jadi sorotan saat memutuskan pengapusan parliamentary threshold, namun tidak melakukan hal sama untuk presidential threshold. (Antara)

Bagikan:

Mahkamah Konstitusi (MK) belum lama ini mengeluarkan keputusan yang memengaruhi arah politik dan demokrasi di Indonesia. Ambang batas parlemen yang semula 4 persen, harus diubah sebelum Pemilu 2029.

Sejumlah pihak seperti PSI dan PPP mendorong revisi segera terkait ambang batas tersebut, sementara Perludem menyoroti perluasan wacana terkait kebijakan politik. Terlepas dari pandangan beragam ini, penting untuk menyelami implikasi dan konsekuensi dari perubahan ambang batas parlemen ini.

Pertama, perubahan ambang batas parlemen bisa mengubah dinamika politik secara substansial. Dengan menurunkan ambang batas, partai kecil memiliki peluang lebih besar untuk masuk parlemen, memperkaya representasi politik yang lebih inklusif. Namun, ada kekhawatiran bahwa penurunan ambang batas juga bisa mengakibatkan fragmentasi politik, di mana kekuatan politik terpecah belah atau terbagi menjadi berbagai kelompok atau entitas yang lebih kecil yang bisa jadi berujung pada stabilitas politik yang lebih rendah.

Kedua, perubahan ambang batas parlemen bisa memengaruhi proses legislatif. Dengan adanya lebih banyak partai politik di parlemen, terdapat potensi untuk munculnya koalisi yang lebih beragam. Ini dapat membuka pintu bagi representasi yang lebih luas, namun juga bisa mempersulit pembentukan mayoritas yang stabil dan konsisten dalam pembuatan kebijakan.

Ketiga, perubahan ambang batas parlemen memunculkan pertanyaan tentang peran dan dinamika partai politik. Dengan pintu yang lebih terbuka bagi partai kecil, ini dapat memicu persaingan yang lebih sengit di antara partai politik. Namun, tantangan nyata akan muncul dalam menjaga integritas dan visi partai politik di tengah persaingan yang semakin ketat.

Keputusan Mahkamah Konstitusi ini juga memunculkan wacana baru terkait mekanisme pemilu dan demokrasi di Indonesia. Pandangan yang berbeda-beda terkait perlunya penyesuaian aturan-aturan pemilu menjadi semakin terlihat jelas. Dengan demikian, perubahan ambang batas parlemen bukan hanya sekadar masalah teknis, tetapi juga menyangkut esensi dari sistem politik dan demokrasi kita.

Dalam konteks ini, tanggung jawab DPR menjadi sangat penting. MK menyerahkan penyesuaian ambang batas parlemen kepada DPR, yang harus memastikan perubahan ini diimplementasikan dengan cermat dan proporsional. Harus dianalisa secara seksama, berapa ambang batas ideal. Jangan sampai berubah-ubah terus. Tidak hanya itu, partisipasi masyarakat sipil dan pakar dalam proses perubahan ini juga harus dijamin, untuk memastikan keputusan yang diambil mencerminkan kepentingan dan aspirasi masyarakat secara luas.

Dalam konteks perubahan ini, kebijakan terkait pencapresan juga perlu dievaluasi. Tuntutan Partai Demokrat dan juga sejumlah pihak untuk menurunkan ambang batas pencapresan menjadi di bawah 20 persen menyoroti pentingnya menyelaraskan berbagai aspek kebijakan politik untuk memastikan kesetaraan dan inklusivitas dalam proses politik.

Perubahan ambang batas parlemen yang diinisiasi oleh Mahkamah Konstitusi memunculkan berbagai diskusi penting tentang masa depan politik dan demokrasi di Indonesia. Penting bagi kita untuk melihat masalah ini dengan cermat dan bijaksana, serta memastikan bahwa keputusan yang diambil mencerminkan aspirasi dan kebutuhan masyarakat secara keseluruhan. Bukan karena kepentingan segelintir elit.