MK Tegaskan Tak Meniadakan Ambang Batas Parlemen
Mahkamah Konstitusi menggelar sidang pengucapan putusan pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, Kamis (29/02) (dok MK)

Bagikan:

JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) menegaskan pihaknya tak meniadakan ketentuan parliamentary threshold atau ambang batas parlemen yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu (UU Pemilu). Menurut MK, ambang batas parlemen tetap diperlukan, namun harus disusun dengan metode kajian yang jelas dan komprehensif.

Hal ini disampaikan hakim MK Enny Nurbaningsih untuk memperjelas isi putusan perkara 116/PUU-XXI/2023 yang sudah dibacakan oleh MK dalam rapat pleno di ruang sidang MK, Kamis (29/2/2024). Perkara ini diajukan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem).

"Putusan Nomor 116 tidak meniadakan threshold sebagaimana dapat dibaca dari amar putusannya," ujar Enny, Jumat 1 Maret.

Enny mengatakan, MK menyerahkan kepada pembuat undang-undang untuk mengatur ambang batas parlemen dan menentukan besaran angka persentasenya. Yang terpenting, kata Enny, angka ambang batas parlemennya rasional dengan merujuk pada metode kajian yang jelas dan komprehensif.

"Bahwa threshold dan besaran angka persentasenya diserahkan ke pembentuk UU untuk menentukan threshold yang rasional dengan metode kajian yang jelas dan komprehensif sehingga dapat meminimalkan disproporsionalitas yang semakin tinggi yang menyebabkan banyak suara sah yang terbuang sehingga sistem proporsional yang digunakan, tetapi hasil pemilunya tidak proporsional," jelas Enny.

Terkait hal itu, lanjut Enny, dalam putusan perkara nomor 116 tersebut, MK meminta pembuat undang-undang mengubah ambang batas parlemen 4 persen yang diatur dalam Pasal 414 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, dengan angka yang rasional. Proses revisi ambang batas parlemen 4 persen ini dilakukan sebelum penyelenggaraan Pemilu 2029.

"Oleh karena itu, untuk Pemilu 2029 dan seterusnya sudah harus digunakan threshold dengan besaran persentase yang dapat menyelesaikan persoalan tersebut (disproporsionalitas yang semakin tinggi yang menyebabkan banyak suara sah yang terbuang)," pungkas Enny.

Dalam pertimbangan hukumnya, MK meminta pembuat undang-undang memperhatikan 5 poin ketika mengubah ambang batas parlemen 4 persen sebelum penyelenggaraan Pemilu 2024. Pertama, kata MK, ambang batas parlemen harus didesain untuk digunakan secara berkelanjutan.

Kedua, perubahan norma ambang batas parlemen termasuk besaran angka atau persentase ambang batas parlemen dimaksud tetap dalam bingkai menjaga proporsionalitas sistem pemilu proporsional terutama untuk mencegah besarnya jumlah suara yang tidak dapat dikonversi menjadi kursi DPR.

Ketiga, perubahan ambang batas parlemen harus ditempatkan dalam rangka mewujudkan penyederhanaan partai politik. Keempat, perubahan telah selesai sebelum dimulainya tahapan penyelenggaraan Pemilu 2029.

Terakhir, perubahan melibatkan semua kalangan yang memiliki perhatian terhadap penyelenggaraan pemilihan umum dengan menerapkan prinsip partisipasi publik yang bermakna termasuk melibatkan partai politik peserta pemilu yang tidak memiliki perwakilan di DPR.