Wacana penambahan masa jabatan presiden kembali menguat di awal tahun 2022. Diawali oleh Muhaimin Iskandar. Ketua Umum PKB ini mengatakan wacana tersebut diungkapkan lantaran ada masukan dari pelaku UMKM, pebisnis dan analis ekonomi. Dilanjutkan Ketua Umum Golkar Airlangga Hartarto yang menerima aspirasi dari petani sawit di Riau. Tidak mau ketinggalan Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan ikut mendukung wacana tersebut.
Sontak menjadi ramai karena yang menolak juga tidak sedikit. Mulai dari partai politik, pengamat hingga organisasi kemasyarakatan.
Banyak spekulasi yang mengemuka. Yang setuju mengatakan akibat pandemi Covid-19 butuh pemulihan ekonomi. Ada juga yang menyebut agar pembangunan berkesinambungan.
Sementara yang menolak juga punya alasan beragam. Syarief Hasan dari Partai Demokrat mengutip ungkapan klasik Lord Acton (1833-1902), “Power tends to corrup” (“Kekuasaan itu cenderung korup”).
Wacana memperpanjang masa jabatan presiden sebelumnya sudah terjadi. Presiden Jokowi sendiri pernah mengatakan menolak masa jabatan presiden 3 periode tapi belum menjawab tegas soal perpanjangan masa jabatan. Tapi, Presiden Jokowi harusnya ingat bahwa orde baru tumbang dan reformasi diawali kejatuhan Presiden Soeharto yang berkuasa selama 32 tahun.
Waktu itu reformasi diusung untuk memberantas KKN (Kolusi Korupsi Nepotisme). Walaupun sekarang tidak lebih baik. Atau bahkan sebagian menganggap lebih buruk. Di era reformasi pula kekuasaan presiden dibatasi. Hanya dua kali masa jabatan.
Dan juga mesti diingat Pemilu 2024 merupakan amanat konstitusi. Kalau diundur, maka harus ada perubahan UU Pemilu di parlemen. Untuk mengubahnya wakil partai di DPR mesti sepakat.
Harusnya Presiden Jokowi, seperti harapan pengamat politik, tegas menolak wacana perpanjangan. Selain harus melakukan amandemen UU, tentu hal tersebut akan menguras energi yang tidak sedikit. Juga tidak masuk akal jika perpanjangan masa jabatan presiden demi pemulihan ekonomi. Padahal, pandemi Covid-19 cukup menganggu ekonomi nasional dan tentunya berimbas pada rakyat. Belum lagi dampak serangan Rusia ke Ukraina.
Akan lebih baik jika energi digunakan untuk mensejahterahkan rakyat. Seperti memberantas korupsi atau mengurus kelangkaan minyak goreng dan naiknya harga kedelai bukan hanya untuk melanggengkan kekuasaan.