JAKARTA - Dengan berbagai cerita dan peristiwa yang mengelilingi musim 2019-2020, gelar La Liga ke-34 Real Madrid adalah yang paling unik dalam sejarah mereka.
Bahkan di masa-masa yang aneh akibat pandemi COVID-19 ini, gelar tersebut diraih dengan nilai-nilai yang tertanam dalam klub ini selama beberapa dekade - solidaritas, pengorbanan, dan semangat tim.
Tantangan Zinedine Zidane jauh lebih besar dibandingkan saat pertama kali ia mengambil alih Los Blancos dari tangan Rafael Benitez.
Mundur ke tahun 2016, ia memiliki tim dengan kepercayaan diri yang rendah tetapi penuh kualitas. Hasilnya, rentetan hasil terbaik mereka dapatkan. Tiga trofi Liga Champions adalah bukti nyata.
BACA JUGA:
Zidane lalu pergi pada tahun 2018 tapi kembali setahun kemudian. Hanya saja, pria Prancis ini datang dengan modal lautan keraguan atas inti dari tim dan pemain seperti Thibaut Courtois, Marcelo, Luka Modric, Toni Kroos dan Gareth Bale.
Selama musim panas, Zidane menghabiskan banyak uang untuk meningkatkan semua area skuatnya dan, meskipun hasil akhirnya adalah trofi La Liga, awalnya tidak mudah.
Real Madrid membuka La Liga musim ini melawan Celta Vigo di Balaidos pada 17 Agustus. Sudah lama sekali. Periode setelah kemenangan itu tidak langsung mulus. Dengan adanya Bale dan James Rodriguez dalam tim, Zidane berjuang mencari formula paling tepat untuk timnya.
Penandatanganan musim panas yang dilakukan Zizou belum membuahkan hasil. Eden Hazard menderita cedera dan Luka Jovic gagal menampilkan permainan terbaiknya.
🏆©️❔ Con esta @LaLiga, ¿cuántos títulos acumula @SergioRamos con el @RealMadrid?#34Ligas | #RealFootball pic.twitter.com/IB54ywAjtR
— Real Madrid C.F.⚽ (@realmadrid) July 17, 2020
Ferland Mendy adalah satu-satunya pembeda bagi Los Blancos. Ia bahkan mampu menggeser kemapanan seorang Marcelo di posisi bek kiri.
Kekalahan 1-0 di Real Mallorca tentu saja merupakan poin rendah bagi Zidane dan para pemainnya, tetapi itu diikuti oleh langkah tak terkalahkan dari perjalanan ke Mestalla dan Camp Nou.
Atletico Madrid lantas dikalahkan di Estadio Santiago Bernabeu pada awal Februari sebelum Real Madrid sulit menemukan konsistensi mereka. Di satu pekan mereka akan kalah dari Levante, berikutnya mereka akan mengalahkan Barcelona melalui gol Vinicius Junior dan Mariano Diaz. Itulah Real Madrid.
Kekalahan di Estadio Benito Villamarin kandang Real Betis membuat Los Blancos harus menyerahkan posisi teratas La Liga kepada Barcelona sebelum kemudian pandemi menghentikan musim.
Tiga bulan setelah kekalahan dari Real Betis, Real Madrid kembali beraksi di balik pintu tertutup di Estadio Alfredo Di Stefano. Kemenangan pembuka atas Eibar adalah yang pertama dari 10 pertandingan berturut-turut berikutnya yang akan memperlihatkan bagaiman pasukan Zidane mengudeta pasukan Quique Setien.
Sergio Ramos memimpin serangan baik dari belakang maupun di depan. Sementara Courtois, Raphael Varane, Dani Carvajal dan Casemiro semua tidak dapat dipisahkan dalam upaya mereka dalam bertahan.
Di antara semua pembicaraan tentang VAR dan penalti, Zidane dan para pemainnya tetap tenang ketika Real Madrid menunjukkan kekuatan dan fleksibilitas. Zizou menerapkan sistem yang berbeda, menggunakan sayap, lima gelandang dan empat penyerang dalam sejumlah kesempatan.
Pada akhirnya, setelah 11 bulan, Los Blancos keluar sebagai tim terkuat, secara mental dan fisik, dan, di atas semua, tim terbaik.