Bulu Tangkis Itu 'Agama Kedua', Jangan Nodai Kebanggaan Rakyat Indonesia
Marcus Gideon (Instagram @marcusfernaldig)

Bagikan:

JAKARTA - Jika negara-negara Eropa punya sepak bola dan Amerika Serikat punya basket, Indonesia tentu saja punya bulu tangkis. Bagi rakyat Indonesia, olahraga tepok bulu ini adalah 'agama kedua'. Berlebihan? Mungkin saja. Tapi seperti itulah faktanya.

Tidak ada cabang olahraga yang patut dibanggakan Indonesia selain bulu tangkis. Setop! Jangan lagi bicara sepak bola. Soal olahraga yang satu ini, Indonesia bukan pilihan Tuhan. 

Bulu tangkis? Tak ada yang menyangsikan kedigdayaan olahraga ini. Barisan prestasi diraih atlet Indonesia di berbagai turnamen. Tak terhitung berapa jumlahnya. 

Masih ingat benar, bagaimana rakyat Indonesia meneteskan air mata ketika Susi Susanti dan Alan Budikusuma menyabet medali emas di Olimpiade Barcelona 29 tahun silam. Padahal, harus diakui, kebanyakan dari mereka adalah penggemar sepak bola yang cuma nonton bulu tangkis sesekali saja.

Ya, di antara penonton itu pasti ada pengemar musiman. Poser. Atau apapun sebutannya. Kendati begitu, jika sudah menyangkut olahraga yang bisa menumbuhkan nasionalisme, jangan pernah ragukan mereka. 

Rakyat Indonesia akan berada di barisan depan layar kaca. Berteriak, melompat, bahkan berlari untuk melepas kebahagiaan ketika atlet Merah Putih mendapatkan poin. Sebaliknya, mereka akan memukul benda apa saja di dekatnya sekadar melampiaskan kekesalan ketika lawan merebut poin.  

Dipaksa mundur melalui aksi diskriminatif

Dipaksa mundurnya tim Indonesia dari All England menyisakan rasa sakit dalam diri rakyat Indonesia. Aksi tim Indonesia yang sedang naik, berakhir secara dramatis. Bukan tanpa alasan istilah 'sedang naik' di sini. Pada empat partai pembuka, Indonesia menyapu bersih kemenangan.

Tim Indonesia lantas digiring keluar dari arena karena penelusuran kontak oleh otoritas kesehatan Inggris membuktikan mereka satu pesawat dengan salah seorang penumpang anonim yang positif COVID-19 dalam penerbangan dari Istanbul (Turki) ke Birmingham (Inggris).

Yang makin bikin kesal. Menurut penuturan Praveen Jordan dalam unggahan akun media sosialnya, tim Indonesia tidak difasilitasi bus untuk kembali ke hotel dari Utilita Arena Birmingham. Mereka harus berjalan kaki.

Testimoni ini sontak memunculkan protes keras dari ofisial yang mendampingi atlet karena keputusan yang sangat tiba-tiba. PBSI sebagai induk organisasi turut meradang mendengar hal itu. Mereka menggandeng Kementerian Luar Negeri RI untuk mencari solusi diplomasi.

Keputusan menarik tim Indonesia dari All England memunculkan kecurigaan karena timnas mendapat perlakuan diskriminatif dari panitia pelaksana. Seluruh anggota timnas diminta menjalani isolasi di hotel selama 10 hari dan tidak lagi mempunyai kesempatan untuk kembali bertanding. 

Namun anehnya, sebelum hari pelaksanaan ada sejumlah peserta yang dinyatakan positif COVID-19, namun kurang dari 24 jam mereka dinyatakan negatif dan bisa ikut berlaga. Sementara dari hasil uji usap PCR terhadap timnas yang dilakukan dua kali di Birmingham menunjukkan kedua hasil tes itu negatif.

Ketua Umum PP PBSI Agung Firman Sampurna masih menantikan keterangan resmi Badan Layanan Kesehatan Inggris (NHS) untuk memberi informasi siapa penumpang pesawat yang dimaksud. PBSI menuding NHS bertanggung jawab karena menjadi pihak yang menyebabkan timnas Indonesia ditarik oleh Federasi Bulu Tanglis Dunia (BWF) dari All England. 

Padahal, selain mengikuti uji PCR di Birmingham, anggota timnas yang berangkat juga sudah menjalani dua kali suntik vaksin di Tanah Air.

Melansir Antara, kecurigaan juga menyeruak setelah ada anggapan Indonesia sengaja disingkirkan agar tidak bisa menyabet gelar juara satu pun di Birmingham melalui aksi diskriminatif. 

Penilaian itu didasarkan kepada hasil pertandingan hari pertama sekaligus terakhir timnas ketika dua ganda putra Indonesia mengalahkan wakil Inggris yaitu Matthew Clare/Ethan Van Leeuwen yang dikalahkan Minions, dan Ben Lane/Sean Vendy yang ditaklukkan The Daddies.

Pada laga Hendra/Ahsan melawan Lane/Vendy, salah seorang hakim garis diketahui berasal dari Inggris, padahal ketentuan BWF mengharuskan hal itu tidak dibolehkan. 

Saat match point gim terakhir, hakim garis tersebut sempat memberi peringatan kepada Ahsan yang dibalas dengan protes karena pebulu tangkis asal Palembang itu merasa tidak melakukan pelanggaran. Sebaliknya, Ahsan/Hendra tak gengsi pamer aksi fair play dalam pertandingan ini. Baca di sini.

Bulu tangkis cerminan diri

Sepak bola memang pantas disebut olahraga rakyat. Tidak butuh modal banyak untuk memainkan olahraga ini. Nyeker pun sudah bisa keluar keringat. Bermain di lapangan rumput atau tanah bekas sawah, sama-sama nikmat. Sementara bulu tangkis, butuh modal untuk membeli sepatu dan raket. 

Tapi, kita harus realistis. Bulu tangkis adalah olahraga pemersatu bangsa. Cuma dengan prestasi atlet tapok bulu rakyat Indonesia bisa bersatu di tengah jeratan isu politik yang tak kunjung usai.

Lebih jauh, bulu tangkis adalah 'agama kedua' rakyat Indonesia. Sri Pakualam dalam bukunya Wedhatama menyebut, agama adalah pakaian, ugeman atau ageman. Segala yang kita pakai haruslah cocok dengan jiwa kita yang senyata-nyatanya. Cerminan siapa diri kita yang sesungguhnya.

Bulu tangkis adalah cerminan rakyat Indonesia. Ya, bulu tangkis bukan sekadar dogma atau norma, namun sudah ada di dalam darah rakyat Indonesia, di setiap tarikan napasnya. Suka tak suka.