Bagikan:

JAKARTA - Ketua Piala Dunia 2022 Qatar Hassan Al-Thawadi menyebut antara 400 sampai 500 pekerja migran meninggal dunia selama mengerjakan proyek untuk ajang empat tahunan tersebut.

Angka tersebut disampaikan Hassan ketika melakukan wawancara dengan Piers Morgan yang ditayang TalkTV pada Senin, 28 November, kemarin. Jumlah kematian ini jauh lebih besar daripada klaim pejabat pemerintah Qatar sebelumnya.

"Perkiraannya sekitar 400, antara 400 dan 500 (yang meninggal dunia). Saya tidak punya angka pastinya, itu sesuatu yang sudah dibahas. Satu kematian terlalu banyak, sesederhana itu,” kata Hassan dikutip dari Marca, Rabu, 30 November 2022.

Jumlah angka kematian pekerja migran selama membangun infrastruktur untuk Piala Dunia 2022 terus menjadi perdebatan hingga saat ini. Klaim dari pemerintah Qatar dan sejumlah investigasi menyebut angka yang berbeda-beda.

Dalam beberapa laporan, pekerja migran yang disebut meninggal selama membangun stadion, jalur metro, dan infrastruktur baru yang mencapai 200 miliar dolar yang dibutuhkan turnamen, adalah 6.500 orang.

Namun, bulan ini seorang pejabat pemerintah malah mengakui hanya ada tiga kematian yang terkait langsung dengan pekerjaan di stadion Piala Dunia dan 37 kematian lainnya tidak ada hubungan sama sekali dengan proyek.

Tahun lalu Hassan sebagai orang yang bertanggung jawab memimpin persiapan Piala Dunia Qatar juga ikut membantah laporan kematian yang mencapai 6.500 jiwa. Ini senada dengan sangkalan yang disampaikan seorang pejabat Qatar bulan lalu.

"Angka 6.500 mengambil jumlah semua kematian pekerja asing di negara itu selama periode 10 tahun dan mengaitkannya dengan Piala Dunia. Ini tidak benar dan mengabaikan semua penyebab kematian lainnya termasuk penyakit, usia tua, dan kecelakaan lalu lintas," kata pejabat itu.

Namun, Amnesty International menemukan berbagai persoalan pekerjaan migran mulai muncul sejak Qatar ditunjuk menjadi tuan rumah Piala Dunia pada tahun 2010. Di antaranya masalah upah yang tertunda atau tidak dibayar, kerja paksa, jam kerja yang panjang di cuaca panas, dan intimidasi dari atasan.

Selain itu, pekerja migran juga disebut tidak bisa meninggalkan pekerjaan mereka karena terhambat masalah sistem sponsor negara.