JAKARTA - Grup indie-pop asal Jakarta, Reality Club mengakhiri tahun 2024 dengan meluncurkan single baru berjudul “Not Today”, yang ditulis oleh Era Patigo (drum). Lagu ini berbicara tentang masa gelap dan harapan, yang didasarkan atas pengalaman personal sang drumer saat menghadapi titik paling rendah di hidupnya.
“Jadi, lagu ini gue buat dari pengalaman sendiri, pas gue lagi di masa suicidal. Masa itu gue sangat kalut dan depresi. Gue lagi di mental state yang bikin gue nggak bisa melihat cahaya di depan,” ujar Era dalam keterangannya, Senin, 9 Desember.
Masa itu, kata Era, terjadi di tahun 2021, di tengah pandemi yang membuat semua nyaris berhenti, ia pun turut masuk ke dalam masa kelabu. Awalnya dia berpikir bahwa pengalaman itu sekedar perasaan buruk belaka, namun dari hari ke hari, pikiran untuk mengakhiri hidup semakin kencang. Muncul banyak pertanyaan yang berkelebat di kepala.
Beruntungnya, Era melihat support system yang solid dari keluarga dan rekan-rekannya di Reality Club. Dia juga meminta bantuan profesional, dan dari sana ia menyadari bahwa sebenarnya masalah depresi dan suicidal thoughts ini sudah hadir sejak masa SMP, dan pikiran-pikiran buruk ini terus merayap dan membesar hingga masa kuliah.
Cara berpikir ini terus terbawa hingga Era bermusik bersama Reality Club, dan suicidal thought senantiasa muncul di setiap ada kesulitan atau tantangan hidup.
Dan pada akhirnya, musik dan harapan yang menyelamatkan Era. Medio 2021, di tengah penggarapan album ketiga Reality Club, Era memutuskan menulis lirik dan musik. Di luar dugaan, proses penulisan lagu ini berjalan mulus.
“Karena biasanya gue kan lumayan overthinking kalau bikin lagu. Kayak melodi harus gini, chord-nya gini. Tapi di lagu ini, kayak ngalir aja gitu,” tuturnya.
Menurut Era, proses penulisan lagu menjadi bagian penting dalam proses healing. “Aku merasa lagu ini menyelamatkan saya. Ini lagu yang menyelamatkan penulisnya sendiri.”
BACA JUGA:
Setelah struktur musiknya selesai, Era mendengarkan lagu ini ke ke rekan-rekannya di Reality Club, Fathia Izzati (vokal), Faiz Novascotia Saripudin (gitar, vokal), Nugi Wicaksono (drum), dan Iqbal Anggakusumah (eks gitar).
“Dan jujur, waktu pertama kali dengan lagunya, si Faiz sampai nangis,” kenangnya
Karena ditulis berdasarkan pengalaman personal, Era menjadikan lagu ini laiknya sebuah pengalaman menjalani naik turun kesehatan jiwanya. Di bagian awal, liriknya mengisahkan keputusasaan. Dari sana, beralih ke tahap penyadaran, bahwa ada banyak orang yang berjuang untuk hidup, tapi dia malah ingin mengakhirinya. Perubahan pola pikir ini menghasilkan kesadaran, bahwa mengakhiri hidup bukanlah jalan terbaik, masa depan dan esok hari masih mungkin memberikan cahaya.
“Di bagian akhir, gue menuliskan sesuatu yang sangat personal, yaitu ketika menyadari bahwa tantangan itu adalah indahnya hidup. Ada keindahan dalam struggling. Dari sini gue bisa melihat cahayanya, bisa melihat keindahan hidup,” ujarnya.
Dari sana Era menyadari lagi bahwa harapan, setipis apapun, bisa menjadi batas penentuan antara hidup dan mati. Baginya, harapan itu terwujud dalam banyak hal, mulai dari bermain band bareng kawan-kawan baiknya, bisa terus main baseball, hingga aneka ria kebahagiaan yang berasal dari hal kecil namun berharga.
“Dari sana gue merasa ada lebih banyak alasan untuk menjalani hidup,” tutur Era.
“Lagu ini pernah menyelamatkan gue, dan gue harap bisa menjadi teman bagi mereka di luar sana. One soul at a time,” pungkasnya.