JAKARTA - Ketika semua 'mendadak Coldplay', penyembah Dream Theater istiqamah mendukung band pujaan mereka. Menjual tiket konser dedengkot progressive metal asal AS demi menyaksikan penampilan Chris Martin dkk di pengujung tahun nanti, tidak ada dalam kamus besar mereka.
Sebelum lanjut membaca tulisan ini. Perlu dipahami. Kita tidak sedang membandingkan kemasyhuran kedua band ini. Atau, mungkin sedang menghakimi siapa penonton 'paling Dream Theater' atau 'paling Coldplay'.
Tapi, nyatanya, dalam konser Dream Theater yang digagas promotor Rajawali Indonesia di Ecopark Ancol, Jakarta pada Jumat, 12 Mei malam, tidak ada tuh yang namanya penonton poser.
"Bosen nonton band itu lagi, itu lagi. Dream Theater kan udah empat kali konser di Indonesia. Kayak enggak ada band lain lagi aja," sindir salah satu netizen di media sosial beberapa hari sebelum acara dihelat.
Kata-kata dia tidak salah. Tapi, dia juga tidak sepenuhnya benar. Seorang penggemar die-hard, tidak akan terpengaruh omongan orang lain. Kesetiaanya terhadap band idola melebihi kadar cinta suami kepada istrinya atau sebaliknya.
Konser Dream Theater bertajuk Last Stop On Top of the World Tour tetap dijejali para penghamba musik progresif. Jenis musik ruwet yang butuh kernyitan ketika kita mendengarkannya. Padahal, semula diperkirakan, konser ini bakal sepi. Maklum, James LaBrie dkk kan sudah yang kelima kalinya menjejakkan kakinya di Indonesia. Sebelumnya, dua kali di Jakarta dan masing-masing satu kali di Yogyakarta dan Solo.
Dan yang lebih bikin kaget. Selain lagu lama seperti Pull Me Under dan Solitary Shell, banyak penonton justru ber-sing along pada lagu-lagu yang dicomot dari album baru, A View from the Top of the World yang menyabet Grammy Award, antara lain, The Alient, Sleeping Giant, Answering The Call, Trancending Time, dan tentu saja trek titel album ini.
Ini artinya, penggemar murni Dream Theater terus mengikuti ke manapun arah musik band idolanya bertiup. Mereka tidak terpaku pada lagu-lagu lama hanya untuk bernostalgia semata. Terkadang, hal semacam ini mungkin sulit dipahami. Apa sih yang diharapkan dari lagu-lagu baru yang tidak sekuat era Mike Portnoy? Drumer sekaligus produser yang jago bikin aransemen.
BACA JUGA:
Tapi, itulah hubungan antara penggemar dan idola. Mereka bisa saling tarik-menarik atau melontarkan seperti magnet. Penggemar jenis ini mengoleksi semua kaset, CD dan DVD, bahkan rela membayar mahal buat menonton konser idolanya baik di dalam maupun di luar negeri. Mereka bisa dengan gampang mengenali kalau si vokalis mengganti sebaris liriknya ataupun saat jari si gitaris kesrimpet waktu konser.
"Jari John Petrucci udah gak selincah dulu," keluh salah satu penonton di area Festival A mengomentari permainan idolanya. Terkesan, penonton itu lebih jago dari idolanya. Tapi, ini justru membuktikan kalau dia tidak pernah melepaskan pandangannya dari sang idola.
Di luar gerayangan tangan Petrucci yang dianggap sudah tidak lincah, dan kualitas vokal James LaBrie yang menurun drastis serta tata suara yang terdengar tidak balance pada lagu Caught in the Web, Dream Theater masih mampu membius dengan sengatan musik jelimetnya. Mereka tidak perlu jenis penonton yang hanya ikut larut dalam euforia sesaat.
Dream Theater tak pernah redup karena musik progresif adalah gaya hidup.