JAKARTA - Kami mengenal Efek Rumah Kaca lewat lingkungan pertemanan terlebih dahulu. Kala itu, ketika semua sedang santai menenggak kopi panas murahan dengan gelas plastiknya, lalu dihantam kembali oleh manisnya rasa nikotin dari rokok, sambil merotasi tembang-tembang musik yang dilombakan harus ‘unik’ yang timbul dari banyaknya permintaan kawan. Suasana memang berjalan begitu liar, tapi di satu momen, seketika kami mulai terdistraksi pada satu lagu.
Kami pun mulai bertanya dengan rasa antusias. Tak lama kemudian, salah satu kawan kami menjawab bahwa ini adalah lagu dari Efek Rumah Kaca berjudul Desember. Dengan struktur musik yang mengusung unsur pop, tapi mampu memikat kami karena chord dan liriknya yang unik sehingga tetap catchy di telinga.
Dari situlah, kami mulai melahap satu per satu rilisan fisik dan penampilan Efek Rumah Kaca di berbagai titik. Bernyanyi bersama gemuruh sekumpulan fans yang menikmati lagu-lagu mereka yang mudah dihafal karena memiliki segudang reff memikat.
Namun, semua itu berubah ketika Efek Rumah Kaca mulai merilis album Sinestesia pada tahun 2015. Sontak kami pun terkejut akan perkembangan mereka. Sekumpulan reff catchy dan struktur musik yang mudah melekat pada lagu-lagu sebelumnya seketika hilang di dalam album ini.
Bukan sebuah kabar buruk, melainkan itu adalah perkembangan yang kami nikmati karena kekayaan harmoni yang menghidupi album ini. Meski kami hanya sering mendengar beberapa lagu saja.
Hingga tiba pada tahun ini, Efek Rumah Kaca merilis album penuhnya yang bertajuk Rimpang bersama Idiiw Records. Kami tak berekspektasi mereka akan mengeluarkan album yang lebih dahsyat dari Sinestesia, mengingat kerumitan aransemen dan durasi panjang pada album itu.
Apalagi usia mereka juga kian menua, membuat kami skeptis akan eskalasi kreativitas mereka. Terbukti, pada EP Jalan Enam Tiga, kami tidak begitu menikmatinya secara penuh.
BACA JUGA:
Ternyata praduga kami sepenuhnya salah. Masuknya Reza Ryan sebagai personel baru, mampu meningkatkan imunitas pada tubuh band yang sudah berumur 22 tahun ini. Bahkan, untuk menunjukkan kekayaan dari segi harmoni, sound, dan vokal, mereka tak perlu bertele-tele seperti pada album Sinestesia.
Walaupun sensasi serupa juga turut menghampiri seperti pertama kali mendengar album Sinestesia. Asing, liar, dan mengejutkan!
Pesan yang disampaikan dalam sampul albumnya juga bias, sehingga membuat rasa penasaran ini semakin menebal.
Kegagahan lainnya juga timbul, di antaranya dari variasi atmosfer yang begitu paripurna. Harmoni vokal bertabur riuh menyemarakkan isi lagu, permainan piano yang memikat, ambience dari kibor, synthesizer, dan gitar yang mengambil alih suasana dengan begitu hebatnya.
Semua sensasi itu turut larut pada slow tempo yang menghanyutkan. Tentunya, didukung pula dengan kualitas produksi sound yang baik.
Satu elemen yang telah kembali sekaligus kami rindukan yaitu pattern drum ‘planet’ dari Akbar. Coba kalian dengar pada trek Sondang, kami sangat terkejut bagaimana Akbar bisa terpikir untuk menggesek perlahan stik drum ‘sapu ijuk’ itu dan membunyikan kick sesekali hampir di sepanjang lagu. Kreativitasnya sangat mampu menghidupi nuansa pada lagu ini.
Penggunaan efek fuzz dengan tepat guna juga terasa sekali pada trek ini, dimainkan secara berjeda dengan chord yang sama. Salah satu trek pada album ini yang patut kalian cicipi.
Beralih ke trek Kita yang Purba. Bicara aransemen, kami bisa bilang bahwa trek ini adalah yang paling mudah untuk dinikmati.
Kami bisa membayangkan bagaimana ketika lagu ini dimainkan pada saat live, penonton akan sing a long dan menganggukan kepalanya karena efek distorsi gitar menghujam dengan begitu catchy-nya yang masuk di pertengahan lagu.
Penulisan lirik dari Cholil Mahmud juga tak luput dari perhatian. Kali ini ia tidak selugas pada album-album sebelumnya.
Analogi yang ditampilkan pada trek Ternak Digembala menjadi contoh kehebatannya. Kami merasa, trek itu adalah gambaran kiamat yang diolah layaknya dongeng fabel seperti buku cerita saat kita kanak-kanak.
Kami bisa bilang, bahwa album Rimpang adalah sebuah pencapaian terbaik bagi Efek Rumah Kaca. Tentunya, faktor-faktor di atas juga mampu menyuburkan kembali ladang suka terhadap mereka yang kian melayu pada kami.
Walaupun begitu, kritik kami pada album ini hanya terletak pada kesulitan untuk melekatkan lagu-lagunya pada memori kita. Butuh waktu lebih lama hingga kita mampu mencapai itu.
Jadi, jangan berharap kalian akan berdendang ria dan mudah melantunkan lagu-lagu mereka seperti pada album self-titled, Kamar Gelap, ataupun EP Jalan Enam Tiga. Karena pada album Rimpang, mereka lebih memilih untuk memadamkan riuhnya nyanyian dan coba merefleksikan wujud kedewasaan mereka kepada kita.