Bagikan:

JAKARTA - Terpilihnya Kepulauan Seribu di Teluk Jakarta sebagai salah satu destinasi wisata unggulan dengan gelar “10 Bali Baru” sungguh patut diapresiasi. Apalagi, dari total 106 pulau, terdapat sekitar empat pulau yang telah eksis sedari zaman kolonial dan menjadi bagian dari sejarah panjang Ibu Kota Negara Republik Indonesia, Jakarta.

Empat pulau tersebut adalah Pulau Cipir, Kelor, Bidadari, dan Onrust. Dari keempat pulau tersebut, Onrustlah yang sekiranya dapat melenggang langgeng dalam romantisme sejarah bangsa. Salah satu denyut aktivitas di Pulau Onrust mulai dikenal sebagai tempat peristirahatan terbatas keluarga Kerajaan Banten pada abad ke-16.

Perihal Onrust sebagai tempat plesiran pun telah diungkap oleh Bambang Budi Utomo dalam bukunya yang berjudul Warisan Bahari Indonesia (2017). Dirinya menceritakan, saat Kesultanan Banten masih berjaya, beberapa pulau di Kepulauan Seribu, termasuk juga Pulau Onrust dijadikan tempat peristirahatan keluarga Sultan Banten. Tak lama kemudian, barulah terjadi sengketa kepemilikan dengan Jayakarta.

“Pihak Jayakarta merasa pulau-pulau itu termasuk wilayah teritorial karena letaknya yang dekat. Sebaliknya, Banten merasa lebih berhak karena Kepulauan Seribu termasuk dalam wilayah kekuasaannya,” ujar Bambang.

Singkat cerita, perubahan peran dari tempat peristirahatan keluarga kerajaan ke galangan kapal mulai terlihat pada pertengahan abad ke-16. Pemicunya, tak lain karena kegagalan seorang penjelajah Belanda Cornelis de Houtman dalam memonopoli rempah di Banten.

Alhasil, setelah kongsi dagang Belanda VOC dibentuk pada 1602, para petinggi di Belanda mulai memikirkan opsi lain dengan mengubah rencana, dari memonopoli rempah Banten, berpindah ke Jayakarta. Untuk itu, siasat demi siasat dilakukan dalam hal memperlancar bujukan kepada empu Jayakarta supaya mengizinkan VOC berada di Pulau Onrust.

Peta Pulau Onrust (Wikimedia Commons)

Siasat VOC kuasai Jayakarta

Penandatanganan perjanjian antara VOC dengan Pangeran Jakarta pada 1610 menjadi bukti VOC dapat merebut hati penguasa lokal. Menurut Alwi Shahab, dalam buku Batavia Kota Hantu (2010), dalam isi perjanjian, pihak Jayakarta memperbolehkan orang Belanda mengambil kayu untuk pembuatan kapal-kapalnya di Teluk Jakarta.

Oleh sebab itu, VOC menjadikan Onrust sebagai pelabuhan sekaligus galangan kapal cukup besar. Tak hanya itu, pemerintah kolonial juga membangun gudang-gudang sebagai tempat penyimpanan muatan saat kapal sedang diperbaiki.

Kiranya, itulah alasan ratusan kapal dari luar yang hilir mudik berdagang di Jayakarta dapat singgah sekaligus di Onrust. Ada yang memiliki tujuan untuk bongkar muat barang dan ada juga yang hanya memiliki niatan untuk memperbaiki kapal, seperti yang pernah dilakukan oleh penjelajah terkenal Inggris Kapten James Cook pada 1770.

Lantas, galangan kapal itulah yang memberi Onrust julukan baru, yaitu Pulau Kapal. “Adanya galangan kapal ini sangat berarti bagi Belanda, mengingat pelayaran dari Belanda ke Jakarta memerlukan waktu berbulan-bulan yang menyebabkan kerusakan kapal,” tulis Alwi.

“Ketika itu, Sekitar 1.200 orang tinggal di pulau sempit ini. Sebagian besar adalah adalah tukang kayu kapal dan tentara. Banyak juga budak belian yang melakukan kerja paksa dengan keadaan menyedihkan,” tambahnya.

Hadirnya galangan kapal ternyata berjalan mulus sebagai penyambung jalan rencana VOC memonopoli rempah di Jayakarta. Nyatanya, kompeni diam-diam menjadikan Onrust sebagai pangkalan militer yang berada di garda terdepan sebelum memasuki Jayakarta.

Sembari menguatkan pertahanan dengan menempatkan sederet meriam untuk melawan musuh --Inggris dan Jayakarta kala itu, VOC mulai memikirkan waktu terbaik untuk menaklukkan Jayakarta. Hingga tibalah waktunya Gubernur Jenderal VOC yang pernah menjabat dua kali (1619-1623 dan 1627-1629) Jan Pieterszoon Coen memimpin serangan ke Jayakarta pada 30 Mei 1619.

Dalam serangan tersebut, Pulau Onrust memiliki peranan penting dalam membawa kemenangan bagi VOC. Berkat kemenangan itu, VOC perlahan mengubah Jayakarta menjadi Batavia. Sebuah nama yang berasal dari suku Batavier, nenek moyangnya orang Belanda.

Menariknya, nasib Pulau Onrust pun semakin kesohor berkat galangan kapalnya yang dipuja-puji para pelancong yang datang ke Batavia. Atas dasar itu, guna mendukung pertahanan Belanda, peletakan batu pembangunan benteng secara bertahap dimulai pada 1656.

Beberapa tahun setelahnya, pembangunan benteng berbentuk segilima rampung. Menariknya, keseluruhan benteng terbuat dari bata dan karang. Tak lupa, pemerintah kolonial melengkapi bentengnya tersebut dengan dua buah bastion atau sudut benteng bernama Beekhuis dan Towpunt sembari menempatkan pos pengintai di tiap sudut benteng.

Praktis, geliat kehidupan semakin ramai. Onrust mulai penuh dengan berbagai macam gedung. Hal itu diungkap oleh Adolf Heuken dalam bukunya berjudul Tempat-tempat Bersejarah di Jakarta (2007).

“Di Pulau Onrust terdapat sebuah gereja kecil (1772) yang fondasinya masih dapat ditunjukkan oleh penjaga pulau saat ini. Dapat dilihat pula tempat bekas tiga derek, dua kilang gergaji serta sebuah gudang mesiu meriam,” ucap Adolf.

“Beberapa gudang besar menyimpan bahan pemberat, yang diperlukan oleh kapal layar seperti kayu, tembaga dari Jepang, sendawa dan timah,” tutupnya.