Saat Museum Sejarah Jakarta Dikenal dengan Gedong Bicara
Gedong Bicara (Wikimedia Commons)

Bagikan:

JAKARTA - “Brapa taon yang sudah lalu, kutika saya masih berdiam di Betawi. saya tau ada saorang tuan partkulier yang ada pegang kantoor dalem salah satu dari kamar-kamar di Gedong Bicara (Stadhuis). Tuan partikulier itu kerjanya tiada laen melenken ambil upahan tulis rekest.”

Begitulah isi penggalan cerita dari Kwee Tek Hoay dalam buku berjudul Kesastraan Melayu Tionghoa dan Kebangsaan Indonesia Jilid 4 (2001). Dirinya mengungap bahwa sering kali ada pejabat yang disinyalir memungut upah hingga memeras secara halus setiap orang tionghoa yang berurusan dengan pemerintah Kolonial Belanda di Gedong Bicara.

Untuk itu, orang-orang menjadi tahu kenapa dahulu nama dari Balaikota (Stadhuis) tempat berkantor Gubernur Jenderal Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) --sekarang dikenal dengan museum Sejarah Jakarta-- disebut sebagai Gedung Bicara oleh masyarakat Batavia pada saat itu. Julukan itu tak lain karena dahulu di sanalah tempat pribumi dan kaum lainnya dapat berbicara dengan para pejabat.

Apalagi, saat itu Balai Kota merupakan pusat administrasi di Batavia. Bahkan, sering pula digunakan sebagai pusat pemerintahan, pengadilan, catatan sipil, dan peribadatan di hari libur. Oleh sebab itu, gedung yang berasal dari abad ke-18 selalu identik sebagai tempat di mana pejabat VOC melakukan tindakan semena-mena kepada kaum pribumi, dan lebih parah lagi bagi mereka orang tionghoa.

Bagaimana tidak, dibanding penduduk Batavia lainnya, orang-orang tionghoa yang sedari awal Batavia berdiri sudah diharuskan membayar pajak lima kali lebih besar untuk membangun tembok benteng kota. Mereka juga dibebankan tiga kali lebih besar membayar pajak untuk membangun Balai Kota.

Dikutip dari Windoro Adi, dalam buku berjudul Batavia 1740: Menyisir Jejak Betawi (2010), terungkap bahwa tak hanya pada saat awal berdiri Batavia saja orang Tionghoa dimintai pajak. Setelahnya pun mereka menjadi akrab keluar masuk Gedung Bicara untuk membayar pajak. “Selain untuk membayar pajak kepala, orang-orang China juga dikenai pajak lain, seperti pajak judi, pajak pemotongan babi, pajak tontonan, dan pajak tembakau,” tertulis.

Hal itu dilakukan pemerintah Kolonial karena hampir seluruh sektor usaha di Batavia nyaris dikuasai orang-orang tionghoa, dari tingkat akar rumput hingga elite. Buktinya, di sekitar Oud Batavia atau Batavia lama --kawasan Kota Tua, perkampungan Tionghoa begitu mudah ditemui. “Perkampungan China berkembang hampir di seluruh pasar yang ada di Batavia, membentuk kantong-kantong pecinan. Hal ini ditandai dengan deretan rumah toko bergaya China,” ditulis.

Oleh karena itu, setiap saat orang-orang di Batavia akan membayarkan pajak ke Balai Kota, ingatan orang-orang akan tertuju pada era tersebut. Mereka juga menyebut gedung yang kembar dengan Istana Dam di Amsterdam, Belanda --sebagai simbolisasi tali persaudaraan-- dengan Gedong Bicara.

Hukuman mati dan penjara bawah tanah

Salah satu yang takjub dengan kemegahan dari Gedong Bicara ialah serdadu Belanda H.C.C Clockener Brousson. Dalam bukunya, Batavia Awal Abad 20 (2004), ia menulis kesan akan bangunan yang diresmikan oleh Gubernur Jenderal Abraham Van Riebeeck tahun 1710 itu. Sebagai anak muda Amsterdam yang doyan jalan-jalan, kesan yang disampaikan Brousson jadi menarik.

Brousson mengungkap ketakjubannya dengan bangunan dua lantai besar bercat putih dengan jendela besar itu. Seketika berhenti mengagumi saat diri melihat tepat di depan gedung melihat sebuah panggung tempat pelaksanaan hukuman mati dan kadang-kadang dibuka bagi para pembunuh yang melakukan kejahatan.

Sekalipun saat itu Gedung Bicara tak lagi digunakan sebagai tempat Gubernur Jenderal Hindia-Belanda berkantor --karena pusat pemerintahan sudah dipindahkan ke Weltevreden atau kawasan sekitar lapangan Banteng, nuansa mistik tempat tersebut masih dirasakan. Terutama, kala Brousson mengalihkan pandangannya ke bagian bawah dari Gedong Bicara yang terdapat penjara bawah tanah kuno dari masa VOC.

Penjara tersebut dulunya sangat aktif digunakan untuk menampung para penjahat maupun pemberontak yang tak sejalan dengan kompeni. Alwi Shahab, dalam bukunya berjudul Maria van Engels: Menantu Habib Kwitang (2006) pun menulis hal yang sama.

“Gedung Balai Kota tampak berdiri megah hingga kini. Tapi, di gedung ini dulu merupakan pengadilan, dan di bagian bawah terdapat penjara bawah tanah. Dulu, di sayap timur Balai Kota dipasang "kuda kayu sejenis kuda-kudaan dengan punggung tajam. Orang terhukum duduk di atasnya selama berhari-hari dengan diberi beban berat di kedua kakinya. Siksaan mengerikan,” tulis Alwi Shahab.

Alwi pun menambahkan, di depan Gedong Bicara ini kerap dilakukan eksekusi hukum gantung atau pancung. Menariknya, hingga kini saat berkunjung ke Museum Sejarah Jakarta, pedang keadilan yang entah sudah berapa kali memisahkan kepala dan tubuh orang-orang dengan vonis hukuman mati masih bisa dilihat.

Hukum gantung di masa kolonial (Wikimedia Commons)

Terkait gambaran dari penjara bawah tanah, bisa didapat melalui cerita pendek Iksaka Banu yang berjudul Pollux dalam buku "Semua untuk Hindia" (2014). Dirinya membuat rekaan, “aku terbangun karena perbedaan suhu dan cahaya. Matahari! Aku bisa melihat cukup banyak kini: atap beton yang sangat rendah, dinding tembok kumuh, tumpukan jerami alas tidurku, lantai berlumut.”

Tak hanya itu, orang-orang yang dihukum di sana akan merasakan kondisi tak dapat berdiri tegak. “Aku menggeliat, berusaha tegak di atas kedua kaki. Tapi ternyata atap ruangan ini lebih rendah dari dugaanku. Aku harus menundukkan kepada dalam-dalam. Akhirnya aku bersilah seperti lelaki itu.”

Begitulah empunya cerpen menggambarkan suasana di dalam penjara bawah tanah. Sampai-sampai tak lupa dalam cerita Iksana mempertegas dengan kalimat:

Selamat pagi. Selamat datang di Stadhuis Batavia. Kita Berada kira-kira sepuluh kaki di bawah lantai dasar (Gedong Bicara). Tidak jauh dari Raad van Justitie (pusat keadilan).