Bagikan:

JAKARTA - Hari ini 74 tahun yang lalu, atau tepatnya 23 Januari 1947, Presiden Republik Indonesia (RI) ke-5 Megawati Soekarnoputri lahir di Yogyakarta.

Putri sulung dari Presiden RI pertama, Soekarno ini begitu melegenda, tak hanya lihai berpolitik, tapi turut menggoreskan tinta sejarah sebagai presiden perempuan pertama yang dimiliki Indonesia.

Melansir laman Perpusnas, wanita bernama lengkap Dyah Permata Megawati Soekarnoputri ini, bersekolah dari SD hingga SMA di Perguruan Cikini, Jakarta. Ia pun pernah belajar di 2 perguruan tinggi berbeda, Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran Bandung (1965-1967) dan Fakultas Psikologi Universitas Indonesia (1970-1972). 

Kendati lahir dari keluarga politik jempolan, Mega awalnya sempat dipandang sebelah mata oleh teman dan lawan politiknya. Sampai-sampai, ia hanya dianggap pendatang baru yang aji mumpung dalam dunia perpolitikan Indonesia pada 1987.

Akan tetapi, Partai Demokrasi Indonesia (PDI) sangat yakin menempatkan Mega sebagai salah satu calon legislatif dari daerah pemilihan Jawa Tengah. Alasannya, untuk mengdongkrak suara.

Megawati Soekarnoputri

(Wikimedia Commons)

Mega kemudian tampil sebagai bintang utama dari kampanye PDI, walaupun tergolong tak banyak bicara. Alhasil, suara PDI naik dan berhasil mengantarkan Mega ke kursi anggota DPR/MPR.

Untuk itu, pada tahun itu pula Megawati terpilih sebagai Ketua Dewan Pimpinan Cabang (DPC) PDI Jakarta Pusat. Akan tetapi, kehadiran Mega di gedung DPR/MPR tampak tak terasa.

Mega paham dirinya berada di bawah tekanan. Maka, Mega memilih lebih banyak melakukan lobi-lobi politik di luar gedung wakil rakyat tersebut. Lobi itulah yang semakin menegaskan bahwa dirinya adalah bintang politik tanah air.

Senafas dengan itu, pada tahun 1993 dia terpilih menjadi Ketua Umum DPP PDI. Hal ini sangat mengagetkan pemerintah Orde Baru (Orba) pada saat itu. Juga rekan sesama partainya. Lantaran itu upaya mendongkel kekuasaannya di PDI kemudian dilakukan.

Nyatanya Mega bukan jadi lawan yang mudah ditaklukkan. Kantor Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PDI di Jalan Diponegoro, sebagai simbol keberadaan DPP yang sah, dikuasai oleh pihak Mega. Para pendukung Mega tidak mau surut satu langkah pun. Mereka tetap berusaha mempertahankan kantor itu.

Soerjadi, rekan separtai Mega yang didukung pemerintah memberi ancaman akan merebut secara paksa kantor DPP PDI itu. Ancaman itu kemudian menjadi kenyataan. Pagi, tanggal 27 Juli 1996 kelompok Soerjadi benar-benar merebut kantor DPP PDI dari pendukung Mega. Namun, hal itu tidak menyurutkan langkah Mega. 

Mega justru makin semangat mengibarkan perlawanan. Tekanan politik yang amat besar terhadap Mega itu justru mengundang empati dan simpati dari masyarakat luas.

Mega terus berjuang. PDI pun menjadi dua. Yakni, PDI pimpinan Megawati dan PDI pimpinan Soerjadi. Massa PDI lebih berpihak dan mengakui Mega. Tetapi, pemerintah mengakui Soerjadi sebagai Ketua Umum PDI yang sah. Akibatnya, PDI pimpinan Mega tidak bisa ikut Pemilu 1997. Setelah rezim Orde Baru tumbang, PDI Mega berubah nama menjadi PDI Perjuangan (PDIP). 

Partai politik berlambang banteng bermoncong putih berhasil memenangkan Pemilu 1999. PDIP meraih lebih dari 30 persen suara. Kemenangan itu menempatkan Mega pada posisi yang paling patut menjadi presiden dibanding kader partai lainnya. kendati demikian, pada Sidang Umum (SU)MPR 1999, Mega kalah.

Meski begitu, kurang 2 tahun kemudian, tepatnya tanggal 23 Juli 2001 anggota MPR secara aklamasi menempatkan Mega sebagai Presiden RI ke-5 menggantikan KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Megawati menjadi presiden hingga 20 Oktober 2003.