JAKARTA - Siapa sangka gadis muda berparas cantik ini dijuluki sebagai monster karena perangainya yang gemar menyiksa orang. Ia adalah Irma Ilse Ida Grese atau Irma Grese wanita yang sejak berusia 19 tahun sudah bergabung menjadi pengawas kamp konsentrasi Nazi Jerman. Lantas bagaimana jalan hidupnya sampai ia bisa memperoleh kesenangan dengan menyiksa orang?
Lahir pada 1923 dari pasangan Alfred dan Berta Grese, kehidupan keluarga Irma Grese dan masa kecilnya memainkan peran utama dalam membentuk fanatismenya sebagai Pemuda Hitler, sebuah program indoktrinasi ideologi Nazi untuk pemuda ras Arya yang berusia 10 tahun ke atas.
Seperti dijelaskan Felicia Morris dalam Beatiful Monsters (2011) Grese mungkin belajar banyak tentang Nazi melalui ayahnya yang merupakan seorang anggota Partai Nazi pada 1937, tapi dia bukan seorang fanatik. Tindakan ibunya, Berta, yang kemungkinan besar membuat Grese menyeburkan dirinya dalam program Pemuda Hitler. Berta terbebani oleh masalah kehidupannya termasuk perselingkuhan suaminya, sehingga ia bunuh diri dengan meminum sebotol asal klorida.
Grese dan ayahnya menyaksikan tragedi tersebut. Saat itu, Grese baru berusia dua belas tahun. Masalah traumatik itulah yang kemungkinan besar membentuk dirinya menjadi pribadi yang sadis kelak.
Irma punya kedudukan lebih di mata Nazi. Pasalnya ia berasal dari keluarga peternak. Rezim Nazi menjunjung tinggi semua pemuda terlebih yang berasal dari pedesaan karena hubungan mereka dengan tanah, yang dipandang Nazi sebagai entitas suci.
Pada usia empat belas tahun, Irma meninggalkan sekolah dasar untuk alasan yang tak jelas. Entah bagaimana, pada 1939, ia kemudian menjadi seorang asisten perawat di bawah Konsultan Senior Panti Jompo dan Rumah Sakit SS, Profesor Karl Gebhardt di Hohenclychen.
Banting setir
Namun Grese tampaknya tidak terlalu pandai merawat pasien. Sehingga setelah dua tahun bekerja sebagai asisten perawat, ia dirujuk ke Ravensbruck, sebuah kamp konsentrasi yang terletak di Jerman Utara, di mana ia akhirnya menemukan jati dirinya sebagai SS-Aufseherin atau pengawas kamp.
Grese menjadi penjaga wanita paling kejam yang kerap melakukan tindakan tak manusiawi. Kejahatan Grese bermula dengan pelatihan berlebihan atau pemukulan terhadap narapidana.
Rupanya pada saat itu, Grese menemukan semacam kesenangan saat melakukan tindakan sadis dan melihat orang lain kesakitan, terutama ketika dia yang menyebabkannya. Ia di Ravensbruck selama tujuh bulan sebagai pengawas pekerjaan.
Pada Maret 1943, ia dipindahkan ke kamp konsentrasi terkenal Auschwitz. Mulanya ia bekerja sebagai operator telepon, tak lama kemudian ia dipromosikan sebagai penjaga kamp yang jabatannya lebih tinggi.
Melalui pekerjaan ini dia mendapatkan reputasinya yang terkenal, menjadi orang yang ditakuti sekaligus dibenci di dalam kamp Nazi. Olga Lengyel, seorang tahanan Hongaria di Auschwitz-Birkenaui menyebutnya sebagai wanita bercambuk.
"Ketia dia berjalan melewati kamp dengan cambuk di tangannya, tercium bau parfum murahan. Cambuk plastik menjadi ciri khasnya, terutama bagi para narapidana yang menyaksikan (atau korban) cambukan yang menyengat. Penjaga kamp akan memukuli dan menyiksa para narapidana yang sudah lemah," kata Lengyel seperti ditulis Daniel Brown dalam The Beautiful Beast (2004).
Para saksi menyebut wanita itu bertugas memilih tahanan yang bakal dieksekusi di kamar gas, menembak tahanan, dan menyiksa mental para tawanan kelaparan dengan meletakkan makanan yang dijaga anjing buas.
Akibat kejahatan kemanusiaannya itu ia diadili dan divonis mati. Grese menjadi wanita termuda yang dieksekusi di bawah undang-undang yudisial Inggris.
BACA JUGA:
Setelah Persidangan Belsen, banyak cerita miring tentang Irma Grese yang beredar. Salah satu rumor menyebutnya sebagai wanita jalang yang menjalin hubungan gelap dengan para petugas pria maupun wanita di kamp. Kabarnya dia juga gemar menyiksa para tahanan yang lemah dan lebih cantik darinya sebelum mengirim mereka ke kamar gas.
Namun sampai dakwaan dibacakan, Grese menyangkal semua tuduhan kejahatan yang dilayangkan kepadanya. Bahkan hingga hari kematiannya 13 Desember 1945, ia masih mencoba mempertahankan harga diri. Kata-kata terakhirnya menjelang digantung adalah: "Cepatlah!"