Bagikan:

JAKARTA - Hari ini, 17 tahun yang lalu, 6 September 2005, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) melantik Gubenur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas), Muladi. Pelantikan itu dilakukan di Istana Negara, Jakarta Pusat.

Guru Besar Fakultan Hukum Universitas Diponegoro itu menggantikan pejabat sebelumnya Ermaya Suradinata. Namun, perjalanan Muladi sebagai Gubenur Lemhanas tak mulus-mulus saja. Ia pernah ditegur oleh SBY yang marah besar. Penyebabkan karena dalam hajatan Lemhanas ada peserta yang tertidur.

Lemhanas adalah lembaga non kementrian yang paling kesohor. Posisinya acap kali dianggap penting oleh pemimpin bangsa Indonesia. Bahkan, sejak era Bung Karno. Ia memiliki cita-cita besar akan sebuah institusi yang berorientasi pada pencapaian nasional. Lemhanas pun jadi jawaban.

Bersamaan dengan itu, Lemhanas dirancang dan dipersiapkan sebagai pusat pendidikan dan pengkajian masalah-masalah strategis yang berkaitan dengan pertahanan negara dalam arti yang luas. Lagi pula, Lemhanas memiliki misi untuk menyelenggarakan pendidikan dan pemantapan untuk pemimpin tingkat nasional.

Presiden SBY pun melihat Lemhanas bukan sebagai lembaga biasa. Namun, luar biasa. SBY lalu menempatkan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Diponegoro yang juga Mantan Menteri Kehakiman era Habibie sebagai Gubernur Lemhanas. Pelantikan itu dilakukan SBY di Istana Negara.

Mantan Gubernur Lemhanas 2005-2011, Prof. Dr. Muladi, meninggal dunia karena COVID-19 di RSPAD Gatot Subroto Jakarta pada 30 Desember 2020. (Antara)

Keputusan SBY dinilai telah final. Sekalipun banyak kritikan yang muncul. Apalagi terkait status Muladi yang dikenal sebagai orang penting Partai Golkar. Padahal, Lemhanas sejatinya harus dihuni oleh orang yang indenpenden. Tujuannya supaya fungsi lembaga tersebut tetap berjalan.

“Muladi dilantik melalui Keputusan Presiden Nomor 151/M/2005. Bekas menteri kehakiman itu menggantikan Ermaya Suradinata. Presiden juga melantik Mayor Jenderal TNI Muhammad Yasin sebagai Sekretaris Jenderal Dewan Ketahanan Nasional melalui Keputusan Presiden Nomor 152/M/2005.”

“Ia membantah kepentingan Partai Golkar akan mempengaruhi "suara" Lemhannas. Ia berjanji, ketika bersuara di Golkar secara otomatis ia berfungsi sebagai politikus. Tapi di Lemhannas ia tak akan berpikir kelompok. Namun, sejumlah politikus di parlemen menuding pemberian jabatan kepada Muladi adalah upaya melanggengkan kekuasaan Golkar,” ungkap Dimas Adityo dan Rengga Damayanti dalam tulisannya di Koran Tempo berjudul Muladi: Lemhanas Akan Tetap Kritis (2005).

SBY pun berpesan dalam pidato pelantikan Muladi. Ia ingin program yang telah berjalan di Lemhanas dilanjutkan. Pun SBY menginginkan ada kemajuan besar di tubuh Lemhanas tiga atau empat tahun mendatang. SBY ingin melihat perubahan itu ketika ia datang Lemhanas.

Tiga tahun setelahnya, atau April 2008 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono datang ke Lemhanas untuk menghadiri acara Forum Konsultasi Pimpinan Pemerintah Daerah. Ia berharap betul Lemhanas telah tumbuh seirama dengan yang telah ia cita-citakan. Namun, yang didapat SBY sebaliknya. Ia marah besar karena ada peserta yang ketahuan tidur.

“Selanjutnya, presiden menegaskan: Malu, sedang membicarakan upaya memajukan daerah, kok tidur. Jangan main-main dengan tanggung jawab. Berdosa! Bersalah kepada rakyat! la kemudian meminta Lemhannas untuk tidak meluluskan peserta tersebut, kendati ia pintar. Jangan diluluskan, biar rakyat tahu. Bukan karena [ia] tidak pandai, tapi karena kepribadiannya jelek."

“Uniknya, Gubernur Lemhannas, Prof. Muladi, ketika ditanya wartawan tentang ‘jeweran’ Presiden usai acara pembekalan, menolak untuk tidak meluluskan peserta tersebut sesuai permintaan Presiden. Muladi mengakui bahwa tertidur saat Presiden memberikan pidato adalah perbuatan salah. Namun, ia juga mengingatkan semua pihak bahwa jadwal belajar di Lemannas amat padat. Sementara fisik peserta-didik rata-rata sudah cukup berumur," tutup Tjipta Lesmana dalam buku Dari Soeharto Sampai SBY (2013).