JAKARTA - Malioboro adalah jalan pintas untuk bernostalgia secara mendalam pada sebuah tempat bernama Daerah Istimewa Yogyakarta. Malioboro adalah tujuan pelesir banyak orang kala berkunjung ke Yogyakarta. Malioboro juga salah satu pusat kehidupan di Kota Pelajar. Sebuah nama yang amat lekat diingat. Namun, darimana sejatinya sejarah Malioboro?
Perasaan nikmat berada di Malioboro pernah diungkap seorang leksikograf masyhur Amerika Serikat Noah Webster. "Perasaan menyenangkan yang berasal dari kenikmatan rasa senang," ungkapnya. Senang, nikmat, dan senang. Tak ada yang lain tentang Malioboro di dalam memori Webster.
Asal-usul nama Malioboro dijelaskan oleh sejarawan Inggris, Peter Carey dalam bukunya, Asal Usul Nama Yogyakarta & Malioboro. Dalam buku itu, Carey menggambarkan popularitas Malioboro yang kadang kala melebihi nama Keraton Yogyakarta.
Dalam buku itu, Carey juga meluruskan anggapan keliru banyak orang yang kerap mengaitkan nama Malioboro dengan merek rokok kering asal Amerika Serikat Marlboro. Anggapan lain, banyak orang juga percaya nama Malioboro diberi sesuai dengan gelar John Curchill, Duke of Marlborough pertama (1650-1722).
Bantahan
Segala anggapan itu dibantah Carey. "Bagaimana pun juga, jalan raya ini telah dibangun dan digunakan untuk tujuan seremonial tertentu selama 50 tahun sebelum orang inggris mendirikan pemerintahan di Jawa. Dan besar kemungkinan jalan ini sejak awal telah dikenal sebagai jalan Malioboro=Jalan berhiaskan untaian bunga," tertulis dalam halaman 9 buku.
Awal argumentasinya ialah dikarenakan dalam sebuah kota India, jalan-jalan utama --rajamarga-- membentang dari timur ke barat dan dari utara ke selatan. Malioboro atau maliabara membentang dari selatan ke utara dan kemungkinan memang hanya merupakan rajamarga atau jalan kerajaan.
“Menurut tradisi India, jalan-jalan kerajaan ini, terutama pada hari perayaan, dihiasi antara lain dengan 'Malya' atau untaian (bunga). Dalam bahasa sanskerta 'dihiasi' dengan untaian bunga adalah 'Mâlyabhara' atau 'mâlyabhâra'. Dan inilah asal usul nama Malioboro,” tulis Carey.
Bahkan, kala dilihat, jalan yang dulunya digunakan sebagai seremonial masuknya gubernur jenderal, dan kadang kala tetap digunakan sebagai parade seremonial seperti defile tahunan pasukan garnisun Yogyakarta dalam perayaan Hari Angkatan Bersenjata pada 5 oktober, tentu kondisi di atas agak berbeda dengan kondisi kekinian yang seakan tak lagi semagis dahulu.
Dahulu, jalanan Malioboro ditanami pohon-pohon waringin tinggi dengan kampung yang tertata rapi. Kini, kiranya telah bermetamorfosis menjadi tempat komersial yang didominasi toko-toko, yang sejatinya telah mengubah Malioboro dan mempercepat proses komersialisasi.
Kondisi inilah membuat Peter Carey bersuara. “Kiranya tak perlu dibayangkan pikiran apa yang ada dalam benak Mangkubumi sendiri tentang hilangnya kenangan yang disayangkan ini.”