JAKARTA - Baru-baru ini Indonesia dihebohkan dengan adanya pendirian Keraton Agung Sejagat yang diproklamirkan pada 10 Januari. Keraton yang terletak di Purworejo, Jawa Tengah ini sontak membuat heboh warga sekitar.
Keraton Agung Sejagat dipimpin oleh Toto Santoso selaku raja yang bergelar Rakai Mataram Agung Jaya Kusuma Wangsa Sanjaya. Sementara Fani Aminadia sebagai permaisurinya, bergelar Kanjeng Ratu Dyah Gitarja.
Mereka mengklaim Keraton Agung didirikan guna mengubah semua sistem negara di dunia, baik keuangan, politik, pemerintahan dan lain-lain. Maka dari itu, PBB hingga Bank Dunia wajib tunduk kepada Keraton.
Setelah menghebohkan masyarat selama empat hari, akhirnya Toto dan Fanni selaku raja dan permaisuri Keraton Agung Sejagat ditangkap polisi. Mereka dijerat pasal pidana tentang penipuan.
Kisah raja dan ratu gadungan yang bertujuan untuk menipu ini juga pernah terjadi di masa Orde Lama, tepatnya pada tahun 1958. Pasangan Idrus dan Markonah saat itu mengaku sebagai raja suku Anak Dalam yang berada di Jambi.
Ia mengatakan, kerajaan yang dipimpinnya adalah wilayah yang dulunya merupakan kekuasaan Sriwijaya. Katanya, kerajaan ini akan memberi sumbangan untuk perjuangan membebaskan Irian Barat, yang saat itu Indonesia masih bersengketa dengan Belanda.
Bualan Idrus dan Markonah ini kemudian merebak dan banyak pihak yang percaya. Pada 10 Maret 1958, Pemerintah Daerah Sumatera Selatan memberikan surat rekomendasi agar Idrus dan Markonah serta beberapa pengikutnya pergi ke Jakarta untuk bertemu Presiden Sukarno.
BACA JUGA:
Sesampainya di ibu kota, Idrus dan Markonah, beserta rombongan, diterima Presiden Sukarno di Istana Negara. Sambutan besar-besaran dapat dimaklumi. Sebab, Idrus dan Markonah akan menyumbang harta untuk pembebasan Irian Barat. Sejurus itu, Presiden Sukarno pun sedang butuh dukungan untuk perjuangan di Irian Barat.
Saat pertemuan dengan Sukarno ini, Idrus dan Markonah mengajukan permohonan untuk berkeliling ke berbagai kota-kota di Jawa. Permintaan mereka disanggupi, Presiden Sukarno memfasilitasi plesiran mereka dan rombongan.
Dikutip dari Koran Belanda, Leeuwarder Courant edisi 7 April 1959, Idrus mengatakan ia memiliki punya 18 istri. Selain itu, dia mengklaim memiliki istana besar di salah satu gua raksasa. Di dalamnya terdapat mumi dari 40 orang Jepang dan Belanda.
Selain ke Istana Negara, saat di Jakarta, Idrus dan Markonah juga disambut oleh pejabat Ibu Kota, yakni Wali Kota Sudiro. Mengutip dari Harian Het Parool edisi 19 Juli 1958, Wali Kota, Sudiro menjamu raja dan ratu gadungan ini makan malam bersama para anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Jakarta.
Saat jamuan makan malam itu, Idrus bercerita bahwa dirinya di istana kerajaan terbiasa makan daging mentah, makanan favoritnya adalah daging ular, dan minumannya darah ular.
Pada 20 Maret 1958, Idrus dan rombongan bertolak ke Bandung, Jawa Barat, lalu berlanjut ke Jawa Tengah. Rangkaian perjalanan Idrus dan Markonah ini disambut bak raja dan ratu sungguhan. Bahkan selama rangkaian lawatan mereka ke beberapa kota itu, mereka berdua dikawal voorijder layaknya pejabat negara.
Tetapi tipu muslihat Idrus dan Markonah harus berhenti saat kunjungan ke Madiun, mereka diciduk Korps Polisi Militer dan kemudian diperiksa.
Terkuaknya kebohongan ini akibat penuturan seorang tukang becak yang mengenali Idrus sebagi rekan seprofesinya. Dia curiga dengan hal itu dan melaporkannya.
Kecurigaan makin kuat setelah konfirmasi pemerintah ke suku Kubu dan suku Anak Dalam. Dari sana diketahui ternyata dalam adat mereka tidak ada istilah raja. Jabatan tertinggi dari kedua suku tersebut ialah kepala suku.
Kedok para penipu ini terungkap. Jati diri Idrus sebenarnya seorang tukang becak, sementara Markonah ialah seorang Wanita Tuna Susila (WTS). Mereka dihukum penjara selama sembilan bulan kurungan dan mereka bebas pada pertengahan tahun 1959.
Akibat tindakan Idrus dan Markonah yang hanya ingin merasakan hidup mewah dan dihormati tadi. Karangan cerita mereka berhasil menipu beberapa pejabat yang terlanjur percaya dengan bualannya. Cerita ini pun menjadi sorotan media asing.
Harian Het Parool edisi 19 Juli 1958 menuliskan, “Banyak yang menertawakan petualangan Raja Sumatra Selatan, di mana Presiden Sukarno, Wali Kota Jakarta, Bandung, Semarang, Solo, Yogyakarta, dan Madiun telah tertipu."