JAKARTA - Kota Hamburg di era tahun 1943 ibarat kota Nagasaki di Jepang, kota yang strategis. Sebuah kota industri yang juga berperan sebagai pusat perekonomian penopang Jerman di bawah kuasa Hitler dan partai NAZI-nya. Lewat operasi udara bernama Operation Gomorrah pada tanggal 24 Juli 1943, kota itu porak-poranda oleh serangan dua negara bersekutu, Inggris dan Amerika Serikat.
Keputusan untuk beralih ke kota Hamburg dari kota lain sebagai sasaran pengeboman tercetus enam bulan setelah kekalahan Jerman di Stalingrad pada kubu front Timur. Dengan menghancurkan titik strategis pusat industri manufaktur kala itu, maka sekutu paham, kekuatan besar Jerman akan sebagian besar lumpuh.
Melalui pasukan British Royal Air Force (RAF), angkatan udara Inggris dan pihak angkatan darat Amerika Serikat, Hitler tak menyangka dalam sekali serangan udara pihaknya menderita kekalahan terbesar dalam jumlah tewasnya korban.
Dikisahkan pada situs thoughtco bahwa penyerangan yang membuat Hitler terkaget itu mencatatkan korban lebih dari 1 juta pengungsi dan membunuh 40.000 sampai 50.000 warga sipil tak berdosa.
Penyerangan operasi Gomorrah berlangsung tiada henti siang dan malam. Tentara AS melakukan pada siang harinya, lalu dilanjutkan tentara RAF pada malam hari. Penyerangan beruntun pada dua hari pertama memaksa penyerangan siang hari di hari ketiga dihentikan karena tak terlihatnya sasaran pengeboman saking pekatnya kabut asap sisa pengeboman malam harinya. Hingga berakhirnya operasi Gomorrah pada tanggal 3 Agustus, Hamburg pun lumpuh total.
Penyerangan yang sangat mengkhawatirkan di mata seorang Hitler. Dia takut kalau penyerangan ini berlangsung kepada kota-kota lain, maka akan menghempaskan keluar Jerman dari dominasi peperangan dunia kala itu.
Kota yang mustahil ditembus
Sampai sekarang pun posisi kota Hamburg masih menjadi salah satu titik kota yang sebenarnya sulit ditembus pihak manapun, apalagi di saat itu era peperangan dunia ke-2. Lokasi Hamburg tidak terlalu dekat juga dengan jalur udara pasukan Inggris. Sampai dua buah inovasi teknologi dalam dunia penerbangan-lah yang menjadi faktor porak porandanya Hamburg oleh operasi Gomorrah.
Pertama adalah kehadiran sistem pemindai radar H2S, yang memberikan visualisasi para pengebom atas keadaan di bawah sana selayaknya tampilan di televisi. Yang kedua adalah digunakannya 'window'.
Window adalah bundel strip aluminium foil yang dibawa oleh masing-masing pembom, yang jika dilepaskan akan mengganggu radar Jerman.
Pada malam hari di tanggal 27 Juli, sejumlah 740 pesawat pasukan pengebom RAF turun di Hamburg yang dipimpin oleh pesawat Pathfinder dibantu H2S. Berbekal teknologi itu semua pesawat mencapai target pengebomannnya dan hanya kehilangan 12 pesawat.
Serangan yang hanya berlangsung sekali saja itu, digambarkan sebagai penyerangan via udara yang hanya bisa dibandingkan dengan tragedi di Nagasaki, begitu menurut Keith Lowe, pengarang buku Inferno. "But Hamburg is on a completely different level - it is more comparable with what happened in Nagasaki".
Pada tanggal yang sama di hari ke-27 bulan Juli itu pun mengakibatkan badai api akibat pengeboman. Dahsyatnya tiupan angin kencang 240km/jam menjadikan kota itu bersuhu 800 derajat Fahrenheit, atau 426 celsius. Suhu yang sangat panas sehingga takkan mampu membiarkan manusia sanggup bertahan.
Dilansir via aoav.org.uk, tergambar bagaimana mengerikannya serangan itu memakan korban. Para korban tewas kebanyakan mereka yang justru berlindung di ruang-ruang bawah perlindungan bom dan gudang bawah tanah. Karena badai api menyapu semua oksigen bersih yang dihirup mereka, lalu menyeret nyawa mereka mati karena lemas, kurangnya asupan udara. Ribuan pabrik, bangunan-bangunan industri, hingga rumah-rumah sipil hancur dalam penyerangan yang dilakukan satu kali itu.
Apa yang terjadi dalam operasi Gomorrah menghasilkan beberapa catatan angka yang fantastis, seperti berikut ini:
- Penyerangan berlangsung selama seminggu penuh siang dan malam bergantian tiada henti.
- Pengeboman total sebanyak 17.000 diluncurkan dengan armada 700-800 pesawat bergantian.
- Sebanyak 9.000 ton diledakkan dengan rata-rata 1.200 ton bom per harinya.
- Pada tanggal 27 Juli sebanyak 2.400 ton bom diledakkan dalam satu kali penyerangan di hari itu.
- Sekitar 280.000 bangunan hancur lebur dan terbakar.