5 Alasan Tidak Perlu Memaksakan Diri untuk Merasa Bahagia
Ilustrasi tidak perlu memaksakan diri untuk merasa bahagia (Unsplash/Catalin Pop)

Bagikan:

JAKARTA – Bahagia merupakan kondisi mental yang bersifat subyektif. Sebab kondisi ini dipengaruhi peristiwa atau pencapaian yang dialami masing-masing orang.

Dalam psikologi positif, bahagia dimaknai sebagai keadaan sejahtera mencakup kehidupan yang dijalani dengan baik, penuh makna, dan kepuasan mendalam. Mengutip dari laman Psychology Today, Selasa, 19 Oktober, banyak penelitian menunjukkan bahwa kebahagiaan dapat meningkatkan kesehatan fisik.

Tetapi mengapa kita tidak perlu memaksakan diri untuk merasa bahagia? Dilansir laman Mark Manson, penulis buku best seller berjudul The Subtle Art of Not Giving A F*ck, kebahagiaan itu seperti perasaan marah. Ketika perasaan tersebut menyelinap jarang segera disadari dan ini 5 alasan mengapa kita tak perlu memaksakan diri untuk merasa bahagia.

1. Kebahagiaan adalah efek samping dari pengalaman hidup

Membeli secangkir cokelat hangat, dianggap salah satu cara untuk bahagia. Tetapi kebahagiaan sesungguhnya tak bisa dibeli. Yang menentukan perasaan bahagia adalah efek berkelanjutan dari pengalaman hidup. Misalnya, jika seseorang tak menyukai cokelat tidak akan merasa biasa saja ketika memesan secangkir cokelat hangat.

Kebahagiaan dimaknai sama seperti perasaan-perasaan lain, seperti marah, kecewa, dan sedih. Ini merupakan efek dari peristiwa yang Anda alami. Artinya, kebahagiaan bukan yang diperoleh tetapi sesuatu yang didapat dari serangkaian peristiwa, baik atas kontrol Anda maupun hal lebih besar yang tidak bisa dikalkulasi.

merasa bahagia
Ilustrasi merasa bahagia (Unsplash/Denise Jones)

2. Kebahagiaan bukan kesenangan

Makan enak, lebih banyak menghabiskan waktu dengan pasangan, mobil baru, rumah mewah, pesta, jadi populer adalah cara banyak orang untuk memperoleh kesenangan tetapi belum tentu mendapatkan kebahagiaan. Ini berarti kebahagiaan bukan didapatkan dengan kesenangan.

Manson menyontohkan, cara seorang pengguna narkoba mendapatkan kesenangan atau seorang pria yang makan enak tetapi tidak membaginya dengan orang lain. Ini menggambarkan bahwa kesenangan memang berkorelasi dengan kebahagiaan tetapi bukan satu-satunya penyebab.

3. Kebahagiaan tidak bisa dipahami secara dangkal

Sebuah studi menunjukkan bahwa orang yang fokus pada kesenangan materialistis dan dangkal akan merasa lebih cemas, emosi tidak stabil, dan kurang bahagia dalam jangka panjang. Jika kebahagiaan dipahami secara dangkal, justru akan mengalihkan perhatian kita kepada hal-hal yang materialistis dan justru tak mendapatkan kebahagiaan.

4. Kebahagiaan didapat dengan cara kita menghargai pengalaman

Kegagalan dalam bisnis memang membuat seseorang merasa tak bahagia. Tetapi bisa sebaliknya dan menjadi lebih bahagia ketika memiliki kemampuan untuk mengubah cara pandang. Seperti dengan menghargai pengalaman gagal sehingga membuatnya menemukan pilihan, berpijak pada pilihan tersebut, dan mendapatkan apa yang diharapkan.

5. Orang yang bahagia tidak selalu berpikiran positif

Selayaknya manusia pada umumnya, orang yang bahagia juga melewati fase paling sulit dalam hidupnya. Ia menerima dan mengekspresikan marah tetapi mengontrolnya supaya tidak menjatuhkan harapan orang lain.

Menurut Manson, menyangkal emosi negatif mengarah ke emosi negatif yang lebih dalam dan memaksakan bahagia membuat seseorang tidak merasa bahagia. Lebih spesifik lagi, tetaplah berpijak pada kenyataan. Meskipun pahit tetapi kebahagiaan tidak terlepas dari kenyataan tersebut bukan?