Tompi Mengulas Fenomena Pelakor di Film <i>Selesai</i>
Film Selesai (Foto: Visinema)

Bagikan:

JAKARTA - Film Selesai menjadi penanda kali kedua kolaborasi Tompi bersama Imam Darto setelah film Pretty Boys (2019). Darto mengakui tantangan terbesar pada proyek film kali ini terletak pada proses pengembangan karakter yang harus linier dengan lokasi syuting yang dibatasi selama pandemi.

“Karena kami tidak boleh terlalu banyak syuting di luar rumah, tantangan terbesar adalah bagaimana menciptakan layer of layer konflik karakter-karakter di dalam cerita agar tetap menarik walaupun pergerakannya hanya di dalam rumah,” terang Darto.

Pada porsi tertentu, film “Selesai” mampu menunjukkan sisi kompleksitas perselingkuhan. Selain pembawaan sinematografis, pengembangan karakter para aktor digarap dengan apik, terutama bila kita menyimak pergerakan karakter Ayu (istri Broto, diperankan Ariel Tatum) sejak awal hingga akhir cerita. Karakter Ayu ditampilkan dengan cukup kompleks sehingga penonton akan terkejut menemukan plot twist yang tak diekspektasikan sebelumnya.

Namun, jika bicara konflik inti perselingkuhan, film Selesai tampaknya tak jauh-jauh dengan narasi istri idaman yang tersakiti, perebut laki-laki orang (pelakor) yang tak menunjukkan rasa bersalah (Anya, diperankan Anya Geraldine), juga suami yang tidak kapok berselingkuh (Broto, diperankan Gading Marten).

Sayangnya, film “Selesai” tak “seekstrem” yang dibayangkan jika hendak melangkah pada gagasan pendobrak tabu dan stigma di kehidupan masyarakat sosial. Porsi Anya sebagai pelakor belum dieksplorasi lebih tajam dari berbagai perspektif dan hanya muncul pada adegan-adegan tertentu saja.

Dikutuip dari ANTARA, penyelesaian konflik juga tampak terburu-buru. Meski patut diakui, plot twist yang dimainkan Ayu membuat penonton mempertanyakan ulang keberpihakan mereka terhadap ketiga karakter.

Terlepas dari itu, dialog antar-karakter saat menghadapi konflik begitu jujur, straightforward, dan apa adanya adalah sesuatu yang patut diapresiasi. Tompi tak segan-segan menyelipkan kata-kata vulgar yang dianggap tabu dalam kultur konservatif dalam dialog filmnya. Eksplorasi dialog pada hakikatnya turut memotret realita spektrum emosi, baik amarah dan kesedihan terpendam akibat perselingkuhan, yang galib terjadi pada pasangan muda masa kini.

Film Selesai merupakan cermin kegairahan seorang Tompi menuju kematangan dalam karya sinema. Penataan gambar pada film keduanya ini sangat “khas” Tompi. Meski, tentu saja, tingkat kematangan perlu diuji setelah sutradara menelurkan berbuah-buah karya beserta kritik karya dari kritikus dan penikmat film.