JAKARTA - Pemborosan pangan kerap menjadi fenomena yang kontradiktif sering terjadi di tengah megahnya restoran mewah hingga di lingkup rumah tangga.
Misalnya saja saat malam tiba, dapur restoran dipenuhi tumpukan piring dengan sisa-sisa makanan tak tersentuh, termasuk roti segar yang mengering dan hidangan mahal yang terbuang sia-sia.
Sementara itu, hanya beberapa kilometer jauhnya, keluarga-keluarga di gang sempit berjuang melewati malam dengan sekadar sebungkus nasi sisa, sepotong roti basi, atau segelas air.
Ini bukan fiksi, melainkan kenyataan yang sudah terjadi sehari-hari, mencerminkan fenomena food loss dan food waste yang semakin menjadi ancaman serius bagi ketahanan pangan, ekonomi, dan lingkungan.
Ironi terjadi di negeri yang melimpah hasil buminya. Jutaan ton makanan terbuang setiap tahun, meskipun jutaan orang hidup di bawah garis kemiskinan.
Data dari Program Lingkungan PBB (UNEP) menunjukkan bahwa pada 2019, 931 juta ton makanan—sekitar 17 persen dari total makanan yang tersedia untuk konsumen—berakhir di tempat sampah, termasuk dari rumah tangga, restoran, dan layanan makanan.
Jika disusun secara berurutan, jumlah tersebut setara dengan 23 juta truk berbobot 40 ton yang bisa mengelilingi bumi tujuh kali. Di Indonesia, penelitian Bappenas (2021) mengungkapkan bahwa pada 2000-2019, 23-48 juta ton makanan dibuang setiap tahun. Kerugian ekonomi dari pemborosan ini diperkirakan mencapai Rp213 triliun hingga Rp551 triliun per tahun, setara 4-5 persen PDB.
Laporan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan juga menunjukkan hampir separuh sampah di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) adalah limbah makanan, menjadikan Indonesia salah satu negara dengan tingkat pemborosan makanan tertinggi di dunia.
Food loss dan food waste bukan hanya soal angka. Setiap makanan yang terbuang merepresentasikan sumber daya yang terbuang—lahan pertanian, air, hingga bahan bakar. Di tingkat global, makanan yang tidak dikonsumsi menyumbang sekitar 8 persen emisi gas rumah kaca. Dengan kata lain, pemborosan makanan adalah pemborosan kehidupan.
Industri perhotelan dan restoran berperan strategis dalam mengatasi masalah ini. Contoh baik datang dari Hotel Novotel Jakarta Cikini yang berhasil mengurangi limbah makanan hingga 63 persen melalui perencanaan yang cermat, pelatihan staf, dan donasi makanan. Makanan berlebih disalurkan ke organisasi yang mendistribusikan kepada mereka yang membutuhkan.
Di Surabaya, riset dari Universitas Kristen Petra menunjukkan bahwa teknologi sederhana, seperti memantau pola konsumsi pelanggan dan memanfaatkan bahan sisa untuk menu baru, dapat mengurangi pemborosan sekaligus meningkatkan loyalitas pelanggan.
Perubahan dimulai dari langkah sederhana, seperti memahami jumlah makanan yang terbuang setiap hari. Teknologi pemantauan stok, perencanaan menu berdasarkan permintaan musiman, serta pelatihan staf menjadi strategi yang efektif. Donasi makanan juga harus menjadi budaya bisnis, dengan melibatkan organisasi seperti Foodbank of Indonesia.
Selain itu, pemerintah perlu mendukung dengan regulasi, seperti insentif pajak bagi bisnis yang mengurangi limbah makanan dan kampanye kesadaran nasional.
SEE ALSO:
Konsumen dapat berkontribusi melalui langkah sederhana, seperti memesan makanan sesuai kebutuhan, membawa pulang sisa makanan, dan memilih restoran yang mendukung keberlanjutan. Pemborosan makanan adalah tanggung jawab bersama yang memerlukan perubahan perilaku di semua lini masyarakat.
Jika kesadaran kolektif terbangun, restoran yang tutup malam hari akan menyisakan piring kosong dan rasa syukur atas makanan yang dimanfaatkan sepenuhnya. Dengan demikian, makanan tidak lagi berakhir sia-sia, tetapi membawa manfaat bagi manusia, bisnis, dan lingkungan. Ini adalah langkah kecil menuju masa depan yang lebih berkelanjutan.