JAKARTA - Sutradara dan penulis Imam Tantowi mendapat apresiasi Lifetime Achievement di Festival Film Indonesia (FFI) yang diselenggarakan pada 20 November lalu. Ia memperoleh penghargaan berkat perjalanannya sebagai sutradara dan penulis skenario.
Bagi Imam Tantowi, penghargaan ini merupakan titik tertinggi dari karier yang ia rintis sejak tahun 1966. Ia tidak menyangka ada di titik memperoleh Lifetime Achievement yang ia sebut sebagai dambaan setiap pembuat film.
“Bahagia banget, kan. Satu yang dikejar oleh orang film adalah penghargaan dan ketika akhir episode ending dari kehidupan mendapatkan itu suatu yang luar biasa di mana saya saat itu sudah tidak lagi beraktif di film. Saya lebih banyak di televisi yang terakhir itu di televisi. Terakhir itu SCTV sebelumnya di RCTI, Tukang Bubur di RCTI cukup lama hampir 5 tahun ya,” kata Imam Tantowi kepada VOI di Tangerang, Selasa, 26 November.
Di usianya ke-78 tahun, ingatan Imam Tantowi sangat melekat terutama membicarakan film. Ia masih ingat betul kapan pertama kali terjun ke dunia film, motivasinya membuat film, dan bagaimana orang-orang di sekitarnya turun tangan dalam mengerjakan film.
“Bagi saya kenangan juga, kenangan yang luar biasa. Setiap insan perfilman yang diharapkan penghargaan. Awal saya berkiprah jadi sutradara itu saya juga nawaitunya untuk sampai dapat penghargaan sehingga film saya pertama Pasukan Berani Mati sebuah penolakan yang diaktulisas,” jelas Imam.
“Saya ditantang produser untuk buat film perang, saya berani. Saat itu, yang membuat film perang hanya badan pemerintah ternyata Mr Bob mau itu bikin lah Pasukan Berani Mati walaupun sebelum itu saya pernah membuat film anak-anak yang saya inginkan," lanjutnya.
"Saya muncul jadi sutradara pertama di film pertama ternyata saya menang pertama di film anak-anak karena itu obsesi saya membuat film anak,” cerita Imam.
Meski memulai kariernya bukan sebagai sutradara, pria kelahiran 13 Agustus itu bertekad untuk terus belajar dan mau melewati proses. Karier filmnya dimulai sebagai dekorator hingga asisten sutradara, kemudian ia menulis sampai ia ditawarkan menjadi sutradara.
“Keyakinan saya seorang sutradara yang baik itu harus bisa menguasai semuanya. Art directing, menguasai. Film ketiga saya, keberapa ya, saya sudah Art Director dari dekorator jadi Art Director. Dari art director ada yang menarik menjadi astrada, Motingo Bushe. Kemudian ada yang tawaran jadi sutradara. Jadi tetap saya dalami semuanya,” kenangnya.
“Saya tahu diri bahwa wajah saya di bawah pas-pasan untuk menjadi seorang pemain. Bagi seorang pemain. Jadi saya anualkan di kru. Saya yang akan mengatur pemain. Saya dari awal, karena saya dari teaternya itu juga sutradara teater. Saya sezaman dengan almarhum Khairul Umam. Tapi dia lebih senior, apalagi dia di Jogja. Berkenalan, bergaul langsung dengan W.S Rendra, dengan Ari Vincenor. Jago-jago drama di Indonesia pada saat itu,” lanjut Imam.
Seniman sejati, Imam Tantowi tidak hanya mendalami film tapi juga teater dan sinetron. Ia yang mengetahui mimpinya, sadar betul bahwa tidak bisa terjun langsung ke industri besar tersebut. Dipertemukan dengan banyak orang besar di film semakin memantapkan kariernya untuk terus meniti di industri film Indonesia.
“Dari awal, passion saya adalah sebenarnya film ya. Cuma karena tingkat kota kecil, maka saya berteater dulu. Tapi itu kan saudara dekat dengan film. Sebenarnya ingin di film, cuma sesuatu yang mustahil. Ngapain saya capek-capek memikirkan sesuatu yang mustahil untuk sebuah kota kecil?," lanjutnya.
"Kok tiba-tiba Allah mempertemukan dengan orang film, mempertemukan dengan Deddy Syam Sumar, guru art directing saya. Deddy Sissam Sumar, pelukis ilustratornya Motinggo Busye,” kata Imam Tantowi.
SEE ALSO:
“Dan Motinggo itu, Almarhum itu orangnya baik banget. Kebetulan editornya itu juga anak muda, itu juga baik. Menerangkan ini, gini, gini. Saya dalam satu, saya ikut film yang pertama itu banyak ilmu yang saya dapat. Dari dekorasi, syuting pengaturan, dan editing. Pelan saya pelajari sendiri, oh jadinya begini, oh begini,” kenangnya lagi.
Dedikasinya justru mengantarnya kepada berbagai kesempatan. Pada tahun 1973, ia sudah menjadi asisten art director. Dua tahun berlalu, ia dipercaya menjadi asisten sutradara untuk film yang dibuat oleh Motinggo Busye.
“Jadi serba kebetulan, serba dimudahkan oleh Allah. Jadi bagaimana cari nafkah, dibayar, sambil belajar,” katanya.
Pandai Beradaptasi dengan Zaman
Lebih dari dua dekade, Imam Tantowi juga bertumbuh besar dengan perkembangan alatnya. Jika dulu film direkam mengunakan seluloid, maka saat ini sudah berganti menjadi digital. Akan tetapi di saat perkembangan itu berubah, karier seorang Imam juga berganti.
“Tapi ke digital itu, saya sudah tidak menjadi sutradara yang menangani di lapangan. Saya sudah menjadi penulis saja. Karena watak saya menyutradarai itu, saya harus dekat dengan pemain, menerangkan detailnya. Nanti kembali ke kamera. Letih banget,” ujar Imam Tantowi.
“Saya pikir, karena saya kebetulan dibayar mahal, bagi penulis skenario juga saya dibayar mahal. Kalau itu juga tiap hari satu episode, maka hasilnya akan jauh lebih banyak daripada menjadi sutradara, itu secara penghasilan. Secara berkarya, di televisi sudah terlalu mentok itu," katanya.
"Tidak semaksimal zaman film itu. Tapi saya akhiri, lucu tanpa disengaja, saya memulai awal karir sebagai sutradara itu film Perang, Pasukan Berani Mati, saya akhiri karir saya dengan film Perang, Surabaya 45,” kenangnya lagi.
Setelah mendalami dunia penulisan, Imam Tantowi mulai mengerjakan naskah sinetron dimulai dari Madu, Racun, dan Anak Singkong pada tahun 1994. Setiap naskah yang ia rangkai menjadi sesuatu yang hit, tidak terkecuali Tukang Bubur Naik Haji selama 2012 hingga 2017.
“Ketika kesibukan saya menulis Tukang Bubur Naik Haji. Itu nyaris sudah tidak pernah lagi menonton film. Karena disibukan dengan itu. Nonton film sesekali dan apa nikmatnya nonton di televisi kan. Jadi meninggalnya istri saya itu juga ada pengaruh-pengaruh yang luar biasa. Niat untuk menonton film di bioskop atau tidak,” kata peraih Festival Sinetron Indonesia.
“Saya tanya sama Inan, anak saya, coba kamu rekamkan itu untuk saya menonton supaya saya bisa melihat genrenya sekarang seperti apa, dan sebagainya. Jangan sampai juga terlalu ketinggalan kan. Seperti itu,” katanya.
Di masa tenangnya, Imam Tantowi sudah tidak mengikuti perkembangan film Indonesia. Sebagai orang tua, ia hanya berdiskusi dengan anak-anaknya atau berbincang dengan produser. Ia mengaku terakhir kali menonton film Kang Mak from Pee Mak atas dasar ingin tahu film horor apa yang sekarang dibuat.
Ia juga membocorkan membuat naskah untuk beberapa rumah produksi, tapi ia belum tahu apakah naskah itu akan terealisasi dalam waktu dekat.
“Saya dibayar cukup mahal sama Soraya. Dibayar Rp150 juta satu skenario. Itu produser yang paling bisa menghargai karya itu Soraya Sunil. Itu saya membuatkan awal kan yang Hamka itu. Tenggelamnya kapal Van Derwick. Bukan, karya Hamka. Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck. Itu saya yang buat. Jadi itu yang ditayangkan umum di bioskop. Itu dimulai sudah pertengahan cerita. Jadi pencarian Zainuddin kepada keluarganya,” tuturnya.
“Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck adalah pemberontakan itu, bagaimana saudara-saudaranya tidak mengakui Zainuddin karena lelaki Minang yang menikah dengan non minang, anaknya non minang. Di Islam bibit itu dari ayah. Nah saya begitu membaca non fiksi Buya Hamka, wah saya kagum banget bagaimana halusnya pemberontakan dia kepada adat di film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck," lanjut Imam.
"Saya hunting itu sampai ke Danau Maninjau, sampai ke rumah Buya Hamka yang dibangun untuk museum dan museum itu yang banyak mendatangi itu orang Malaysia. Itu di Soraya saya bikin itu,” kata Imam Tantowi.
Sudah lama tidak menggeluti dunia film, Imam Tantowi percaya film punya peranan besar di lingkungan dalam membentuk masyarakat. Ia punya prinsip dalam membuat sebuah karya yang menjadi keyakinannya untuk mendalami perfilman.
“Film itu pengaruhnya pada masyarakat itu luar biasa. Setiap genre masyarakat kebanyakan dipengaruhi oleh munculnya gender film yang terakhir, sangat dipengaruhi oleh film sehingga sungguh sangat harus berhati-hati membuat film ketika melihat kerusakan budaya dan tata kehidupan di film,” tegasnya.
“Membuat karya, saya berpikir panjang seperti itu silakan lihat tidak akan ada film teks atau film action ya ada, tapi film seks tidak karena takut imbasnya kepada generasi muda itu luar biasa. Berkarya kamu adalah memiliki tanggung jawab kepada generasi mendatang,” kata Imam Tantowi.