Bagikan:

JAKARTA - Ketika orang menasihati Anda untuk "bersikap baik" dalam hubungan, biasanya itu berarti menekankan pentingnya kebaikan, empati, dan kompromi dalam membina keharmonisan. 

Meski hal-hal tersebut bersifat baik, namun perlu adanya keseimbangan antara bersikap baik dan bersikap terlalu akomodatif. Ketika Anda terlalu fokus bersikap menyenangkan itu artinya Anda membiarkan orang lain memanfaatkan kebaikan. Sehingga hal ini dapat menciptakan dinamika yang tidak sehat di mana batasan menjadi kabur dan kebencian perlahan-lahan terbentuk.

Oleh karena itu, sangat penting membedakan antara bersikap baik dan bersikap memelihara. Meskipun keduanya mungkin tampak serupa, bersikap baik seringkali melibatkan pengorbanan diri dan menghindari percakapan sulit, sedangkan sikap memelihara mendorong kepedulian dan kejujuran bersama. Ketika kebaikan mengorbankan kesejahteraan Anda sendiri, hal itu mengikis fondasi hubungan, sehingga tidak ada ruang untuk hubungan Anda berkembang.

Berikut tiga bahaya tersembunyi bersikap terlalu baik dalam hubungan menyadur Psychology Today, Rabu, 30 Oktober.

Ilusi Pengorbanan Diri

Pengorbanan diri dalam suatu hubungan sering kali terasa mulia, seolah-olah memprioritaskan kebutuhan pasangan di atas kebutuhan Anda merupakan ungkapan cinta yang murni. Anda mungkin mendapati diri terus-menerus menyetujui rencana si dia yang berlawanan dengan mau Anda. 

Awalnya, pengorbanan ini mungkin tampak baik, tapi ingat hubungan membutuhkan kompromi. Ketika pengorbanan diri menjadi kebiasaan, hal itu menyebabkan kelelahan emosional. Mengabaikan kebutuhan Anda sendiri secara terus-menerus tidak hanya mengikis identitas dan harga diri, tetapi juga menimbulkan frustrasi dan kelelahan. Membuat Anda merasa tidak terlihat dan tidak didengarkan.

Sebuah studi tahun 2012 mengungkapkan bahwa penekanan emosional yang sering menyertai pengorbanan menyebabkan meningkatnya perasaan negatif dan menurunnya kepuasan hubungan. Seiring waktu, penekanan ini bahkan meningkatkan keinginan untuk mengakhiri hubungan.

Kepatuhan yang Semu

Dalam upaya menghindari konflik atau ketidaknyamanan, Anda mungkin mendapati diri menekan perasaan atau pendapat yang sebenarnya, memilih kedamaian daripada keaslian. Entah itu berpura-pura memiliki minat yang tidak Anda pedulikan atau tetap diam selama perselisihan, fasad ini hanya menciptakan rasa harmoni yang dangkal.

Meski menahan diri mungkin tampak seperti cara mudah menghindari momen-momen tidak nyaman, hal itu disertai dengan biaya emosional yang signifikan. Penelitian menunjukkan bahwa orang sering kali menyesuaikan diri dengan apa yang mereka yakini diharapkan dari mereka. Bertindak sesuai dengan kebutuhan yang dibayangkan ini dan berpura-pura menjadi seseorang yang bukan diri Anda untuk pasangan dapat perlahan-lahan mengikis rasa diri Anda. Hal ini menciptakan lapisan persetujuan dan kepuasan dalam hubungan yang kurang mendalam dan koneksi yang tulus.

Seiring waktu, jarak emosional terbentuk karena pasangan tidak menyadari pikiran dan perasaan Anda yang sebenarnya, membuat Anda merasa disalahpahami atau bahkan tidak terlihat. Kurangnya ekspresi yang autentik tidak hanya menghambat keintiman tetapi juga menumbuhkan rasa keterasingan.

Untuk membangun koneksi nyata, sangat penting menyeimbangkan kebaikan dengan kejujuran. Dengan bersikap rentan dan terbuka tentang perasaan, Anda menciptakan ruang hubungan yang lebih dalam dan lebih bermakna—hubungan yang berakar pada keaslian daripada kesesuaian.

Perangkap Toleransi

Menoleransi perilaku tidak sopan atau menyakitkan atas nama bersikap "baik" bisa terasa seperti tindakan kesabaran, tetapi sering kali menjadi bumerang. Anda mungkin memaafkan perilaku pasangan, berharap bahwa dengan tidak bereaksi, Anda akan terhindar dari konflik atau kebaikan Anda akan menginspirasi perubahan. Namun, dengan mengabaikan atau meremehkan perilaku negatif, Anda pada dasarnya memberi isyarat bahwa tindakan pasangan tidak memiliki konsekuensi, yang memungkinkan pola yang tidak sehat untuk bertahan dan memburuk.

Baik itu komentar pasif-agresif, perilaku tidak sopan, atau kebiasaan terlambat, menoleransi perilaku buruk sering kali mengarah pada stagnasi alih-alih perubahan. Seiring waktu, dinamika ini mengikis harga diri Anda dan menciptakan ketidakseimbangan kekuasaan, di mana kebutuhan dan batasan Anda terus-menerus diabaikan.

Berhati-hatilah bahwa jika Anda mencari komunikasi terbuka sementara pasangan menghindari membahas konflik, hal itu dapat menyebabkan perenungan dan pemikiran berlebihan, yang pada akhirnya meningkatkan ketidakpuasan dalam hubungan seperti yang ditunjukkan dalam penelitian.

Sebaliknya, sebuah studi tahun 2018 yang diterbitkan dalam Journal of Social and Personal Relationships menunjukkan bahwa pertentangan langsung, daripada toleransi pasif, lebih efektif untuk mengatasi masalah serius dan mendorong perubahan nyata.