Bagikan:

JAKARTA - Minimnya pilihan metode kontrasepsi bagi pria menjadi salah satu faktor rendahnya partisipasi mereka sebagai akseptor KB (keluarga berencana). Meski demikian, perkembangan teknologi kontrasepsi terus berjalan pesat, termasuk penelitian terbaru terkait kontrasepsi suntik bagi pria.

“Perkembangan teknologi kontrasepsi selama beberapa dekade terakhir tidak hanya fokus pada peningkatan efektivitas, tetapi juga mengutamakan aspek keamanan, kenyamanan, dan kemudahan penggunaan, sekaligus meminimalkan risiko efek samping,” ujar Dr. Sundoyo, SH, MKM, M.Hum, Pelaksana Tugas Kepala BKKBN, dalam Seminar Nasional memperingati Hari Kontrasepsi Sedunia dalam keterangan pers BKKBN kepada VOI.

Terkait hal ini, Dr. Sundoyo menegaskan, BKKBN berupaya menjalin kerja sama dengan BPJS Kesehatan agar metode vasektomi atau Metode Operasi Pria (MOP) dapat dimasukkan sebagai layanan dalam Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Hal ini diharapkan mampu meningkatkan keterlibatan pria dalam program KB.

“Saat ini, jika MOP dipilih tanpa indikasi medis, biayanya belum dapat ditanggung oleh JKN. Ini menjadi tantangan bagi kita agar metode ini bisa masuk ke dalam cakupan manfaat JKN. Dengan begitu, diharapkan semakin banyak pria memilih metode vasektomi,” jelasnya.

Pilihan kontrasepsi untuk pria di Indonesia memang terbatas, yaitu hanya kondom dan vasektomi. Namun, BKKBN terus mencari inovasi baru agar pria memiliki lebih banyak opsi kontrasepsi.

Salah satu inovasi yang disampaikan dalam seminar tersebut adalah kontrasepsi suntik untuk pria, yang dipaparkan oleh Prof. Dr. Wimpie Pangkahila, Sp.And, Subspesialis Andrologi dan Seksologi. Penelitian ini menguji kombinasi androgen-progestin melalui injeksi pada pria.

“Penelitian melibatkan 20 pria sehat dengan kesuburan normal yang dibagi dalam dua kelompok. Kelompok pertama mendapat suntikan kombinasi 100 mg DMPA dan 100 mg Testosteron Enanthate (TE) setiap bulan selama empat bulan. Kelompok kedua mendapatkan 200 mg DMPA dan 250 mg TE dengan pola yang sama,” jelas Prof. Wimpie.

Hasil uji klinis menunjukkan, pada bulan ketiga hingga keempat setelah suntikan dimulai, terjadi azoospermia (kondisi tanpa sperma).

Metode ini bersifat reversibel karena sel sperma mulai muncul kembali dua bulan setelah suntikan dihentikan. Selain itu, kadar testosteron pria kembali normal pada bulan keempat setelah terapi berakhir.

Sementara itu, Deputi Bidang Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi BKKBN RI, Dr. Drs. Wahidin, M.Kes mengatakan, riset kontrasepsi suntik pada pria ini bisa menjadi suatu kebijakan khususnya di BKKBN namun masih perlu riset selanjutnya sebelum diproduksi massal.

“Sesungguhnya ini (suntik KB pada pria) bukan riset yang awal, jadi riset yang tinggal selangkah lagi untuk produksi ya,” ungkap Wahidin.

Menurutnya, tentu apabila sudah ada riset lanjutan dengan melibatkan sampel yang lebih banyak pasti akan bisa menjadi kebijakan baru sebagai salah satu opsi dalam kontrasepsi pada pria selain MOP (metode operasi pria atau vasektomi dan kondom.