YOGYAKARTA – Inklusi tidak hanya tentang berkelompok tetapi juga merasa dihargai, dihormati, dan dipahami apa adanya. Inklusi adalah aspek mendasar psikologi manusia dan perkembangan sosial. Inklusi membuat seseorang mengembangkan rasa memiliki yang mendalam. Ini meningkatkan motivasi dan kepuasan hidup.
Menurut Pyiya Nalkur, Ed.D., penulis Stumbling Towards Inclusion: Finding Grace In Imperfect Leadership, inklusi dimulai di rumah. Dengan begitu kita dapat membangun rasa memiliki, rasa aman, rasa percaya, dan pengertian dalam keluarga. Ini akan menjadi landasan membangun inklusi di luar rumah, termasuk di tempat kerja, sekolah, dan komunitas lainnya.
Sebagai orang tua, berperan penting dalam membentuk pemahaman anak-anak tentang inklusi sejak usia dini. Dengan tips berikut ini, orang tua bisa mengenalkan nilai-nilai inklusi dalam interaksi sehari-hari.
1. Menjadi teladan
Salah satu cara menanamkan nilai inklusif pada anak-anak dengan memperhatikan bahasa yang digunakan di sekitar mereka. Pakailah bahasa yang menggambarkan sikap dan perspektif yang diteladani. Misalnya, pertimbangkan apakah bahasa yang digunakan menghargai keberagaman identitas dan pengalaman.
Saran Nalkur dilansir Psychology Today, Jumat, 14 Juni, alih-alih memperkuat stereotip gender dengan mengatakan “laki-laki” dan “perempuan”, pakailah instilah inklusif, seperti “semua orang” atau “teman-teman”.
Selain itu, Anda bisa memperluas pemahaman anak-anak tentang dunia dengan mendiversifikasi lingkaran sosial Anda dan mereka, bercakap saat makan malam, dan memahami serta menghormati ide-ide yang berbeda serta berteman dengan banyak orang. Anak-anak juga bisa menumbuhkan empati dengan begitu. Mereka juga menghormati perbedaan.
2. Didik anak tentang topik dan identitas yang mungkin mereka anggap aneh
Tips kedua dalam membangun inklusivitas pada anak, dengan menunjukkan bahwa orang-orang berbeda tetapi memiliki banyak kesamaan. Anak-anak bertemu dengan banyak budaya, orang, dan pengalaman saat mereka berinteraksi dengan dunia sekitar mereka.
Pengalaman yang dilalui anak-anak, perlu disadari orang tua bahwa tidak semua mudah. Anak-anak mungkin mengalami tantangan ketika bertemu dengan berbagai bahasa, budaya, sekaligus mengembangkan empati serta pemahaman terhadap orang lain. Bicarakan secara terbuka tentang ras, identitas gender, orientasi seksual, disabilitas, dan banyak lagi. Berikan jawaban yang jujur, tanyakan kepada mereka apa yang ingin mereka ketahui, dan jika Anda tidak tahu jawabannya, katakan saja.
3. Diskusikan pengalaman pengucilan atau marginalisasi
Orang yang terpinggirkan, teralienasi, atau dikucilkan, bisa menjadi topik memantik diskusi dengan anak-anak Anda. Sebelum membicarakan topik ini, pastikan anak-anak tahu bagaimana lingkungan dan perasaan yang aman. Kemudian, berbagilah pengalaman Anda sendiri tentang ditinggalkan. Validasi perasaan mereka dan berikan dukungan dalam memberdayakan anak-anak untuk menghadapi tantangan. Dengan begitu, anak-anak akan memiliki bahasa yang penuh kasih sayang yang dapat mereka gunakan dengan teman-teman mereka juga.
BACA JUGA:
4. Jangan terlalu cepat menyelamatkan anak dari kesulitan
Wajar apabila orang tua tidak ingin anak-anaknya mengalami kesulitan. Tetapi membiarkan anak-anak menghadapi tantangan dan belajar dari kesalahan mereka menumbuhkan kemandirian dan kepercayaan diri yang penting untuk inklusivitas.
Memberi contoh adalah cara paling ampuh dalam mengembangkan inklusivitas. Menunjukkan perilaku inklusi dan menangani konflik dengan hormat serta konstruktif, mengajarkan anak belajar empati, komunikasi, dan penyelesaian konflik. Penting dipahami orang tua, inklisivitas adalah perjalanan berkelanjutan, bukan tujuan. Artinya mendukung anak untuk terus berdaya dalam menetang ketidakadilan dan mengadvokasi inklusivitas, penting dilakukan berkelanjutan.