Bagikan:

JAKARTA - Setiap ibu, baik yang bekerja maupun fokus pada urusan rumah tangga, sama-sama bertanggung jawab menghadirkan kualitas pendidikan anak yang baik. Sebagai pasangan, ayah harus paham bahwa kebahagiaan mental ibu selama pengasuhan dan mewujudkan kesehatan dan perlindungan anak.

Sekretaris Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Pribudiarta Nur Sitepu mengingatkan masyarakat bahwa pengasuhan dan pendidikan anak bukan semata tugas ibu tetapi perlu dibagi setara antara ibu dan ayah.

Pribudiarta lalu membahas pentingnya ibu merasa bahagia karena dengan memiliki kesehatan yang bagus maka dia mampu memberikan ASI eksklusif dan mempengaruhi kebahagiaan, kesehatan anak serta memberikan pola asuh yang dipenuhi cinta.

"Sementara ibu yang mengalami kekerasan, stres, depresi, kurang mendapatkan dukungan dari keluarga akan berdampak sangat negatif terhadap kesehatan jiwanya dan pada anak yang menjadi asuhannya," kata dia dikutip dari ANTARA, Selasa, 22 Agustus.

Kemudian, terkait pemenuhan hak dan perlindungan bagi anak maka ini adalah kewajiban dasar yang harus tersedia demi menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas.

Dia mengatakan, terdapat empat hak dasar anak yakni hak untuk hidup, hak untuk tumbuh dan berkembang, hak untuk mendapatkan perlindungan dan hak untuk berpartisipasi.

"Untuk menciptakan anak Indonesia yang sehat dan berkualitas, pemenuhan hak anak perlu diperjuangkan. Berbicara SDM berkualitas maka, isu terkait kesehatan dan perlindungan anak yang dijamin menjadi syarat penting," kata dia.

Pribudiarta kemudian menuturkan terdapat beberapa isu terkait kesehatan anak dan bisa menjadi masalah ketika anak tumbuh dewasa, antara lain rokok dan narkoba, malnutrisi atau kekurangan gizi, kesehatan mental, penyakit menular dan tidak menular serta kekerasan terhadap anak.

Khusus rokok, dalam kesempatan itu, Ketua Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS UI) Ir. Aryana Satrya, M.M., Ph.D menyebutkan saat ini di Indonesia terjadi peningkatan prevalensi merokok untuk anak. Selain itu, lebih dari 60 persen anak yang berusaha berhenti merokok ternyata mengalami kekambuhan.

"Stunting terutama pada keluarga miskin dan mereka banyak mengeluarkan konsumsinya untuk rokok. Selain itu peran sebaya dan harga menjadi sangat mempengaruhi anak dalam konsumsi rokok," demikian kata dia.

Ketua Komite Nasional Pengendalian Tembakau dr Hasbullah Thabrany, M.P.H., Dr.P.h. mengungkapkan fakta terkait merokok pada anak, salah satunya data bahwa sekitar 20 persen siswa kelas 7 hingga 9 (SMP) sudah merokok.

Dampak buruk yang bisa dialami seorang anak apabila terus menerus terpapar dengan rokok yakni kecanduan dan ini sulit disembuhkan.

"Kalau anak sudah kecanduan merokok, sampai dewasa, 30-40 tahun belanjakan uangnya untuk rokok. Banyak anak sudah candu dan tidak bisa keluar lagi," kata dia di Jakarta, Selasa.

Berbicara data terkait anak yang merokok, Program Lead Manager Tim Percepatan Pencegahan Anak Kerdil Sekretariat Wakil Presiden (Satwapres) Iing Mursalin menyebut sebanyak 69,42 persen anak usia dini yakni 0-6 tahun tinggal dalam satu anggota keluarga merokok.

Menurut dia, tidak mudah mengedukasi kebiasaan merokok apalagi mengingat adanya satu anggota keluarga yang menerapkan kebiasaan itu.

Menurut Kementerian Kesehatan, pajanan rokok pada anak memunculkan sederet dampak antara lain mengganggu prestasi belajar, gangguan kecerdasan dan kemampuan belajar, mengganggu perkembangan paru-paru, menyebabkan anak mudah terinfeksi penyakit seperti meningitis, infeksi telinga tengah, pneumonia, bronchitis, asma, limfoma dan leukemia.

Dampak lainnya, anak sulit sembuh bila sakit karena sistem kekebalan tubuh menurun, mengalami gangguan kulit dan plak gigi, anak tampak lebih tua dari usia sebenarnya, kecanduan hingga perilaku negatif, perilaku agresif dan suka menantang.

Data dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) menyatakan bahwa terdapat peningkatan prevalensi merokok penduduk umur 10 tahun dari 28,8 persen pada tahun 2013 menjadi 29,3 persen pada tahun 2018.

Sementara itu, prevalensi merokok pada populasi usia 10-18 tahun naik sebesar 1,9 persen dari tahun 2013 (7,2 persen) ke tahun 2018 (9,1 persen).

Di Indonesia, kematian karena 33 penyakit yang berkaitan dengan perilaku merokok mencapai 230.862 pada tahun 2015, dengan total kerugian makro mencapai Rp. 596,61 triliun.

Tembakau membunuh 290.000 orang setiap tahunnya di Indonesia dan merupakan penyebab kematian terbesar akibat penyakit tidak menular.

Merokok merupakan faktor risiko penyakit tidak menular seperti diabetes, hipertensi, penyakit jantung dan kanker.

Berbicara upaya mencegah anak terpapar rokok, Kementerian Kesehatan menyebut, mereka perlu terus ditingkatkan kesadarannya tentang dampak bahaya dari penggunaan rokok.