Bagikan:

YOGYAKARTA – Hubungan seks bertanggung jawab dengan momen hidup setelahnya. Oleh karena itu, situasi dan consent perlu disepakati dua orang yang melakukannya. Termasuk pada pasangan yang berkomitmen, tak menutup kemungkinan merasa sedih, marah, dan cemas setelah berhubungan seks. Menurut pakar, ini normal dialami dan disebut dengan post-coital dysphoria. Bagaimana post-coital dysphoria bisa dialami dan apa penyebabnya? Ini penjelasannya.

Post-coital dysphoria adalah bagian dari siklus respons seksual manusia. Siklus respons tersebut termasuk kegembiraan, level naik, orgasme, dan resolusi. Kondisi post-coital dysphoria dapat menjadi bagian dari fase ‘resolusi’. Jelas seksolog Emilie Lavinia dilansir Vogue, Minggu, 16 April, post-coital dysphoria (PCD) adalah fenomena aneh tetapi relative umum yang membuat seseorang merasa sedih, kesepian, dan kecemasan yang intens setelah berhubungan seks. Penyebab post-coital dysphoria sangat bervariasi. Penting bagi setiap pasangan mengetahui berbagai jenisnya dan memberikan perhatian pada kondisi ini.

“Kesedihan pasca-seks adalah respons tubuh yang alami, karena hormon memuncak dan menurun sebelum, selama, dan setelah aktivitas seksual. Anda bisa mendapatkan seks terbaik dalam hidup Anda, relaksasi mental total, dan kenikmatan tubuh, dan masih merasa sedih, gelisah, terharu, hingga menangis setelahnya,” jelas Lavinia.

kenapa wanita menangis setelah berhubungan seks
Ilustrasi penyebab dan cara mengatasi post coital dysphoria (Freepik)

Kondisi ini disebabkan oleh hormon, stimulator mental seperti ingatan. Selain juga dipicu faktor sensual dan fisik, seperti aroma, cara Anda disentuh, lingkungan sekitar, tingkat energi, dan kondisi mental saat melakukan aktivitas seksual. Saran Emelie, penting untuk bertanya pada diri sendiri apakah gejala PCD berasal dari sesuatu yang lebih serius atau bersifat pribadi.

“PCD juga bisa disebabkan oleh asosiasi mental dengan seks seperti rasa malu pada masyarakat, ketakutan dan penyesalan, trauma yang tersimpan dalam tubuh dan faktor psikologis lain yang bisa tergantung pada keadaan atau masalah jangka panjang,” tutur Emelie.

Post-coital dysphoria lebih sering dialami wanita. Tetapi alasannya cukup rumit, namun bisa dipicu oleh campuran rasa malu dan ketakutan yang terinternalisasi terkait dengan seks. Ditambah lagi, wanita secara historis lebih cenderung khawatir tentang seks dan menyesali konsekuensinya.

kenapa wanita menangis setelah berhubungan seks
Ilustrasi penyebab dan cara mengatasi post coital dysphoria (Freepik/drobotdean)

Selain yang dijelaskan karena situasi internal maupun eksternal, seseorang bisa mengalami post-coital dysphoria karena naik dan turunnya hormon dalam siklus menstruasi. Ini dapat meningkatkan sensitivitas dan respons emosional terhadap keintiman. Bahkan kehamilan dan menopause juga dapat meningkatkan kemungkinan mengalami PCD.

Pada pria, PCD dialami ketika merasa sangat lelah dan tanpa menggeneralisasi, baik pria maupun wanita bisa mengalaminya setelah berhubungan seks. Rekomendasi Emelie untuk mengatasi kondisi ini, adalah dengan meningkatkan skala emosional demi perasaan yang lebih positif.

Praktiknya bisa dengan meningkatkan keintiman dengan pasangan dengan meditasi. Atau cara sederhananya, dengan berpelukan, menatap pada, ucapkan kata-kata penegasan juga dapat meningkatkan hormon bahagia, oksitosin dan dopamin. Kalau dalam bahasa khusus, disebut dengan keterlibatan setiap orang yang berpasangan untuk aftercare. Dengan begitu meningkatkan rasa nyaman, aman, dan melawan hormon stres, kortisol dan adrenalin.

“Napas juga merupakan cara bagus untuk menenangkan sistem saraf. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa mengontrol pernapasan membantu menenangkan dan mengatur emosi. Meditasi, mengulang mantra yang menenangkan atau bersenandung juga dapat memberikan efek positif,” saran Emelie.

Ketika mengalami post-coital dysphoria, bisa dengan merasakan serta mengamati emosi. Kemudian menuliskan pemikiran Anda dallam jurnal. Saran terakhir Emelie, jika menemukan PCD sangat mengganggu, hingga muncul keinginan menyakiti diri sendiri atau orang lain, bicarakan dengan dokter atau carilah bantuan profesional kesehatan mental atau ahli psiko-seksual.