Situasi Hubungan, Baik dengan Keluarga atau Orang Terdekat Ternyata Memengaruhi Otak
Ilustrasi situasi hubungan yang memengaruhi otak disebut neurobiologi interpersonal (Pexels/Gustavo Fring)

Bagikan:

YOGYAKARTA – Otak manusia selalu beradaptasi dan berubah sejalan dengan situasi hubungan di sekitarnya. Ketika memiliki keluarga yang hangat, meski dilingkupi perubahan-perubahan dinamis dalam hidup, ternyata berpengaruh positif pada otak.

Hormon cinta, atau oksitosin, dilepaskan ketika merasakan hubungan emosional satu sama lain. Misalnya ketika merasakan orgasme, mengobrol dengan orang tercinta, hingga saat menyusui buah hati. Melansir Psychology Today, Jumat, 18 November, area otak menunjukkan peningkatan materi abu-abu ketika terjalin relasi emosional positif. Pada ayah dari bayi yang baru lahir, peningkatan ini terjadi seiring dengan perilaku pengasuhan.

Perubahan otak terjadi dalam empat bulan pertama menjadi orang tua, tulis Gina Simmons Schneider, Ph.D., psikoterapis berlisensi dan penulis. Ayah dan ibu baru menunjukkan perubahan dalam jaringan saraf yang membantu mereka menyesuaikan diri dengan kebutuhan bayi mereka yang baru lahir.

situasi hubungan yang memengaruhi otak
Ilustrasi situasi hubungan yang memengaruhi otak disebut neurobiologi interpersonal (Pexels /Pixabay)

Ketika orang tua menghibur anak yang menangis, dengan suara, penciuman, dan sentuhan, akan merangsang pelepasan beberapa zat kimia selain oksitosin. Bahan kimia otak seperti prolaktin, dopamin, dan endorfin memberi orang tua dan anak perasaan hangat serta menyenangkan. Nah, ketenangan ini juga memupuk perasaan saling aman, cinta, dan koneksi. Ini disebut neurobiologi interpersonal, yang mana membentuk ikatan erat dengan orang lain. Hubungan yang hangat, selain membentuk materi otak, juga membantu seseorang mengelola stres dengan lebih baik dan mengatasi kehilangan.

Pada situasi yang berbeda, beberapa anak terlahir di zona perang, dengan segala kekurangan, penderitaan, dan keputusasaan. Mereka mengalami trauma dan memengaruhi bagaimana otak berkembang. Lebih jauh lagi, Shcneider memaparkan, bahwa anak-anak atau orang dewasa yang mengalami trauma membutuhkan hubungan yang sehat untuk kembali pulih.

Situasi lain, seperti anak-anak yang mengalami penganiayaan pada usia dini, perkembangan hippocampus bisa terhambat. Hippocampus merupakan pusat ingatan jangka panjang pada otak. Semakin sering anak-anak mengalami kejadian berbahaya, semakin signifikan penurunan volume hippocampus pada otaknya. Belum lagi anak-anak yang mengalami pelecehan emosional di masa keemasan pertumbuhannya.

BACA JUGA:


- https://voi.id/lifestyle/151026/6-tipe-hubungan-interpersonal-dan-pengaruhnya-pada-kehidupan-manusia

- https://voi.id/lifestyle/199460/dalam-hubungan-romantis-ini-alasan-kenapa-setiap-pasangan-perlu-penyesuaian-emosional

- https://voi.id/lifestyle/181171/menjaga-keintiman-bersama-pasangan-bisa-jadi-antidepresan

- https://voi.id/lifestyle/184543/jangan-biarkan-trust-issue-merusak-hubungan-begini-cara-bijak-mengatasinya

- https://voi.id/lifestyle/185534/5-alasan-kenapa-yoga-membantu-menyembuhkan-dari-trauma

/see_also]

Berdasarkan riset yang dilakukan tahun 2016, menunjukkan penipisan dua bagian otak. Satu bagian memproses kesadaran diri di korteks prefrontal dan bagian lainnya membantu memahami serta mengatasi emosi pada lobus temporal medial. Penipisan di wilayah otak ini membantu menjelaskan tingginya tingkat kecemasan dan depresi pada mereka yang pernah mengalami pelecehan dan penelantaran emosional.

Sejumlah 80 persen mengalami peristiwa traumatis dalam hidupnya. Tetapi karena otak manusia dibangun untuk menahan banyak bahaya, maka mengelola dan memulihkan diri dari pengalaman traumatis akan sangat membantu dalam memperbaiki materi otak.