Gimana <i>sih</i> Komitmen yang Sehat dalam Hubungan Berpasangan? Begini Kata Ahli
Ilustrasi komitmen yang sehat dalam hubungan berpasangan (Unsplash/Artsy Vibes)

Bagikan:

YOGYAKARTA – Pasangan yang bersepakat menjalin hubungan cinta, menetapkan batasan dengan menyebut ‘kita’ bukan ‘aku’ dan ‘kamu’. Meski setiap orang tetap memiliki kedirian subjektif, tetapi identitas akan terikat satu sama lain. Menurut Maria L. Boccia, Ph.D., D.Min., LMFT., ketika pasangan membuat komitmen satu sama lain, seringkali ada transisi pada cara berbicara. Alih-alih dengan perspektif personal untuk melakukan ini dan itu, menjadi ‘kami’.

Ini bukan sekedar perubahan tata bahasa, tetapi mencerminkan perubahan mendalam dalam diri pada setiap orang yang berpasangan. Dalam tata bahasa ‘kami’, pasangan menjadi bagian satu sama lain yang secara teori disebut self-expansion atau penyertaan orang lain dalam diri.

Batasan yang sehat bersifat selektif, dilansir Psychology Today, Kamis, 30 Juni. Komitmen digambarkan ketika satu sama lain membangun entitas unik dengan batasan sekitar diri mereka sendiri. Nah, kalau secara historis, komitmen terbentuk ketika telah diakui di masyarakat, seperti dengan pernikahan atau upacara lainnya. Tetapi meski tidak setiap pasangan terlibat dalam pengakuan publik, mereka tetap membuat komitmen satu sama lain.

komitmen yang sehat dalam hubungan berpasangan
Ilustrasi komitmen yang sehat dalam hubungan berpasangan (Unsplash/Freestocks)

Kalau dalam hubungan rumah tangga, kepuasan seksual berkontribusi pada kesehatan dan kebahagiaan bagi kedua pasangan. Meskipun ada ide yang berbeda mengenai apakah hubungan bersifat jangka panjang akan meningkatkan atau menurunkan gairah serta kepuasan seksual. Tetapi terapis keluarga kerap manyarankan untuk menambah pengalaman baru untuk menyalakan kembali gairah hubungan.

Dalam penelitian tahun 2022 oleh Pietras, dkk., setiap pasangan perlu saling berpartisipasi dalam membangun kepuasan pernikahan dengan berbagai jenis kegiatan, termasuk sama-sama berpartisipasi dalam kelompok sosial. Pada konteks komitmen, setiap orang berpasangan perlu berkontribusi dalam pengembangan diri.

Komponen dalam komitmen, jelas Boccia, banyak sekali. Termasuk keintiman relasional yang tidak hanya belajar bagaimana menegosiasikan konflik, tetapi juga berkontribusi dalam tumbuhnya kebersamaan.

Dari penjelasan di atas, komitmen yang sehat utamanya membangun keintiman relasional. Sedangkan elemen yang ada dalam relasi, perlu dibangun dengan saling mengembangkan diri dalam konteks personal maupun visi dalam relasi.