JAKARTA - Studi terbaru mengungkap, kelompok minoritas seksual secara signifikan lebih mungkin mengalami migrain dibandingkan dengan heteroseksual. Stres dan diskriminasi minoritas mungkin menjadi penyebabnya.
Para peneliti mewawancarai lebih dari 9.800 orang dewasa dari usia 31 hingga 42 sebagai bagian dari National Longitudinal Study of Adolescent to Adult Health.
Lebih dari 85 persen responden diidentifikasi sebagai heteroseksual eksklusif, 10 persen 'kebanyakan' adalah heteroseksual tetapi agak tertarik pada jenis kelamin yang sama dan sekitar 4 persen diidentifikasi sebagai gay, lesbian atau biseksual. (Survei tidak mencakup identitas gender.)
Peserta gay, lesbian, dan biseksual memiliki peluang migrain 58 persen lebih tinggi dari rekan mereka yang benar-benar heteroseksual. Partisipan yang 'kebanyakan heteroseksual' mengalami peningkatan tingkat migrain yang setara dengan minoritas seksual lainnya.
BACA JUGA:
Sakit kepala migrain sering kali menimbulkan rasa sakit yang berdenyut-denyut di satu sisi kepala, meskipun kedua sisi dapat terpengaruh. Mereka dapat bertahan berjam-jam atau bahkan berhari-hari dan disertai dengan mual, muntah dan kepekaan terhadap cahaya, suara atau masukan sensorik lainnya.
Migrain adalah alasan utama kelima yang menyebabkan orang mendatangi ruang gawat darurat, menurut Migraine Research Foundation, dan lebih banyak mempengaruhi wanita daripada pria.
"Kami tahu stres secara umum dapat memicu migrain, dan karena minoritas seksual mengalami diskriminasi dan stres tambahan, tampaknya logislah yang dapat memicu migrain," ujar Dr. Jason Nagata - profesor pediatri di Universitas California, San Francisco, dan penulis. penelitian tersebut - dilansir dari NBC News, Jumat, 2 Oktober.
“Penelitian sebelumnya menunjukkan migrain lebih umum di antara minoritas lainnya, termasuk orang kulit hitam, latin, wanita dan orang dengan status sosial ekonomi rendah,” katanya. "Tapi tidak ada yang melihat minoritas seksual."
Temuan Nagata dipublikasikan Senin lalu sebagai surat dalam versi online JAMA Neurology.
Nagata juga memperhatikan faktor luar - antara lain usia, ras, etnis, pendidikan dan tingkat ekonomi - serta kebiasaan seperti merokok dan minum. Tetapi dia mengatakan studi lebih lanjut diperlukan untuk melihat apakah genetika atau elemen lain berperan.
Ia menyarankan, para dokter menjadi lebih proaktif dalam menilai pasien lesbian, gay, dan biseksual yang mengalami migrain.
“Jika Anda penyedia perawatan primer dan sepertiga dari pasien Anda menderita migrain, Anda harus menjadikannya bagian dari proses asupan,” katanya.
Nagata, yang mempelajari disparitas orientasi seksual dalam kesehatan masyarakat dan kedokteran, juga menekankan pentingnya menciptakan lingkungan yang ramah.
“Beberapa minoritas seksual melaporkan hambatan dalam mengakses perawatan kesehatan atau mengalami diskriminasi di klinik atau rumah sakit,” jelasnya.