JAKARTA - Perfilman Indonesia yang kini sudah maju, tak bisa dilepasakan dari sejarah perfilman layar lebar Indonesia pertama yang diproduksi dan diperankan pertama kali oleh bumi putera yakni film layar lebar Loetoeng Kasaroeng yang tayang perdana pada 31 Desember 1926.
Film yang mengangkat cerita rakyat dari Sunda, Jawa Barat ini memaparkan perjalanan Sanghyang Guruminda yang berasal dari Kahyangan yang diturunkan ke Bumi dalam wujud seekor lutung (sejenis monyet endemik Jawa). Perjalanan lutung yang tersesat di Bumi ini, mempertemukan sang lutung dengan seorang puteri Purbasari Ayuwangi yang juga terusir dari istana oleh Puteri Purbararang akibat perasaan dengki.
Lutung Kasarung dan Puteri Purbasari saling jatuh cinta, walaupun Lutung Kasarung adalah seekor mahkluk yang buruk rupa, ternyata pada akhirnya ia berubah menjadi pangeran tampan dan menikahi Puteri Purbasari serta memerintah Kerajaan Pasir Batang dan Kerajaan Cupu Mandala Ayu bersama-sama.
Kisah Lutung Kasarung yang berisi nasihat, janganlah memandang sesuatu dari kulitnya saja, sebenarnya pada tahun 1921 pernah diangkat oleh R.A. Wiranatakusumah, Bupati Bandung, ke dalam gending karesmen, yaitu drama yang diiringi musik. Barulah lima tahun kemudia, R.A. Wiranatakusumah bersama NV Java Film Company mengangkatnya ke dalam sebuah film layar lebar yang berjudul Loetoeng Kasaroeng.
Disutradarai oleh dua orang Belanda yaitu G. Kruger dan L. Heuveldorp. Dikutip dari buku Indonesia Poenja Tjerita yang ditulis oleh Sejarah RI. Walau disutradarai oleh dua orang Belanda, para pemain film ini adalah aktor dan aktris pribumi, anak-anak dari Bupati Bandung R.A. Wiranatakusumah juga ikut andil membintangi film ini. Sementara sang Bupati Bandung sendiri bertindak sebagai penyunting dan sinematografer.
Film Loetoeng Kasaroeng yang berdurasi 60 menit dan masih berbentuk tampilan visual hitam-putih tanpa suara (Film Bisu), murni diproduksi di Indonesia, yang berlokasi syuting di daerah Padalarang.
Untuk menarik minat penonton, beberapa bulan sebelum pemutaran film, para pemeran dan tim produksi mengadakan pawai keliling kota Bandung dengan menyewa kereta kuda. Mereka membawa poster film dan selebaran ajakan menonton. Pawai yang bertujuan untuk promosi ini menjadi hiburan tersendiri bagi warga, khususnya anak-anak.
Promosi tentang film Loetoeng Kasaroeng ini juga dilakukan oleh beberapa media kala itu. Salah satunya Harian De Lecomotief edisi September 1926 yang menuliskan "Inilah film yang merupakan tonggak pertama dalam industri sinema Hindia sendiri, patut disambut dengan penuh perhatian".
Pada 31 Desember 1926 tibalah waktunya film ini diputar perdana di Bioskop Elita (Majestic) yang terletak di jalan Braga, Bandung. Sebelum pemutaran film dimulai, pihak pengelola bioskop menyewa pertunjukan okres yang memainkan lagu-lagu bertema gembira. Barulah film diputar pada pukul 19.30 dan pukul 21.00. Karena film ini sendiri tanpa suara alias film bisu, pihak pengelola memindahkan orkes musik ke dalam gedung bioskop untuk menangkal bosan para penonton.
Film Loetoeng Kasaroeng ini terbilang sukses menarik penonton, hal ini terbukti dari penayangan film yang dimulai 31 Desember 1926 sampai 6 Januari 1927. Bosannya penonton dengan dominasi film bisu dari Eropa juga menjadi faktor penentu kesuksesan film lokal pertama ini.
Kesuksesan film Loetoeng Kasaroeng ini bahkan tercatat pernah diproduksi ulang sebanyak dua kali. Tahun 1952 disutradarai oleh ET Effendi dengan pemeran Nurhasanah, Barnas Lesmana, Kusmana Suwirja dan Tina Melinda. Sedangkan tahun 1983 film ini disutradarai BZ Kadaryono dengan para pemain Erna Santoso, Johan Saimima, Enny Beatrice, Godfried Sancho, dan Avent Christie.
Produksi film Loetoeng Kasaroeng di tahun 1952 dan 1983 itu memiliki cerita yang sama dengan kisah aslinya, yang jadi pembeda tentu saja tampil dengan berwarna dan bersuara.