Bagikan:

Istilah haji furoda atau haji mujamalah menjadi perhatian dalam beberapa tahun terakhir. Di tengah panjangnya antrean untuk menunaikan ibadah hajihaji furoda menarik perhatian karena tidak ada antrean. Menurut Ketua Umum Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia (IPHI), Dr. Ir. H. Erman Suparno, MBA, M.Si, praktik haji jenis ini tidak mendidik dan mengekspos ketidakadilan.

***

Bagi umat Muslim di Indonesia, diperlukan kesabaran ekstra jika ingin menunaikan ibadah haji. Pasalnya, daftar tunggu atau antrean untuk bisa berangkat sangat panjang. Ketika ada haji yang tidak perlu antre, seperti yang terjadi dalam haji furoda, orang yang sudah lama merindukan ibadah haji melihatnya seperti oase di padang tandus. Mahalnya biaya haji furoda bukan halangan bagi mereka yang berkantong tebal. Sebab, untuk bisa berangkat dengan jenis haji ini, biayanya bisa berkali-kali lipat dibandingkan haji reguler.

Inilah yang disoroti oleh Erman Suparno. "Adanya haji furoda itu merusak keadilan. Sebab, yang berduit bisa langsung berangkat tanpa antre, sedangkan yang tidak mampu harus menunggu lama. Ini kan tidak adil. Harusnya ini dihilangkan. Haji furoda itu tidak mendidik dan tidak mengajarkan disiplin," ujarnya.

Di hadapan Allah, lanjutnya, semua jemaah yang datang untuk menunaikan ibadah haji memiliki status yang sama. "Semua sama di sisi Allah, baik haji reguler, ONH Plus, maupun haji furoda, statusnya sama-sama tamu Allah," tukasnya.

Sejatinya, haji furoda bisa menjadi salah satu solusi atas terbatasnya kuota haji. Namun, dalam praktiknya, haji furoda justru menjadi ajang bisnis yang menggiurkan. Seperti hukum ekonomi, ketika permintaan tinggi sementara stok terbatas, harga akan melambung. Akhirnya haji furoda hanya bisa diraih-oleh  mereka yang berduit.

Karena itu, Erman Suparno mengusulkan agar haji furoda dihapuskan. Jika pemerintah Arab Saudi ingin membantu negara dengan populasi Muslim besar seperti Indonesia, mereka sebaiknya menambahkan kuota untuk haji reguler, sehingga bisa mempersingkat daftar tunggu.

"Jadi haji itu semuanya harus reguler. Kalau ada yang di luar itu, pasti muncul masalah. Contohnya tambahan kuota 20.000 jemaah haji  tahun lalu yang diberikan untuk haji non-reguler, ujungnya malah menimbulkan kasus," katanya kepada Edy Suherli, Bambang Eros, dan Irfan Meidianto saat berkunjung ke kantor VOI di kawasan Tanah Abang, Jakarta, Jumat, 14 Maret.

Selain bersuara lantang soal haji furoda, ia juga membahas rencana amandemen UU Haji dan Umrah, amandemen UU tentang pengelolaan dana haji, kenaikan biaya haji, wacana pembentukan Kementerian Haji, soal BPKH, Badan Penyelenggara Haji (BPH), serta harapannya agar penyelenggaraan haji ke depan bisa lebih baik dari tahun ke tahun.

Dalam pandangan Ketum IPHI Erman Suparno, haji furoda itu tidak mendidik dan mengekspos ketidakadilan. (Foto: Bambang Eros – VOI, DI: Raga Granda – VOI)

Dalam pandangan Ketum IPHI Erman Suparno, haji furoda itu tidak mendidik dan mengekspos ketidakadilan. (Foto: Bambang Eros – VOI, DI: Raga Granda – VOI)

Apa itu IPHI, kapan organisasi ini berdiri?

IPHI adalah organisasi lama yang sudah ada sejak era Bung Karno. Di awal kemerdekaan, Presiden RI pertama ini mengapresiasi ulama dengan memberangkatkan mereka haji. Saat itu, keberangkatan dilakukan dengan sembilan kapal laut. Misi ini dipimpin oleh Menteri Agama saat itu, almarhum KH. Hasyim Asy’ari. Pulang dari Tanah Suci, dibentuklah Organisasi Persaudaraan Haji.

Di era Presiden Soeharto, organisasi ini dibuatkan badan hukum dengan nama Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia (IPHI). Pada Muktamar pertama tanggal 29 Maret 1990 di Jakarta, terpilih almarhum Dr. Sularto sebagai Ketua Umum dan almarhum KH. Mubarok sebagai Sekjen. Saya sendiri terpilih dalam Muktamar VII IPHI yang berlangsung di Jakarta pada 12 Juni 2021.

Secara otomatis, mereka yang sudah menunaikan ibadah haji bisa menjadi anggota IPHI. Saat ini, anggota kami sekitar 12 juta orang.

Mengapa perlu ada IPHI?

Jemaah haji jumlahnya tidak sedikit dan mereka memiliki potensi besar. SDM dari para haji dan hajjah ini bisa dimanfaatkan untuk pemberdayaan umat. Karena itu, melalui organisasi ini, potensi mereka bisa didata dan juga dioptimalkan.

Bagaimana Anda melihat pelaksanaan ibadah haji selama ini?

Setiap tahun dilakukan evaluasi terhadap pelaksanaan ibadah haji, karena diharapkan selalu ada peningkatan dari tahun ke tahun. Daftar tunggu haji di Indonesia sudah sangat panjang, apalagi setelah pandemi COVID-19 yang semakin memperpanjang antrean.

Karena itu, pemerintah perlu melakukan beberapa langkah untuk mengurangi daftar tunggu yang amat panjang. Pertama, harus memberi tahu pemerintah Arab Saudi tentang realitas ini, dengan harapan mereka memberikan toleransi. Lalu, ada banyak negara yang kuota hajinya tidak terpakai. Ini bisa diusulkan agar dialihkan ke negara yang membutuhkan, seperti Indonesia. Mungkin perlu ada pertemuan tingkat tinggi lintas negara. Yang penting jumlah jemaah yang datang tidak melebihi kapasitas. Kemenag harus proaktif melakukan lobi kepada negara-negara tersebut.

Biaya haji meningkat setiap tahun, bagaimana mengatasi hal ini?

IPHI adalah pihak yang mengusulkan perlunya badan pengelola dana haji. Usulan kami masuk sebagai inisiatif DPR dan diterima, sehingga dibuatlah UU No. 34 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji. Lembaga yang dibentuk berdasarkan undang-undang ini dinamai Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH), dengan Ketua pertamanya Anggito Abimanyu.

Tujuan adanya UU ini adalah untuk meluruskan hierarki regulasi. Dalam hal ini, Kementerian Agama sebagai regulator tidak boleh merangkap sebagai eksekutor. Keuangan haji berasal dari dana pemerintah (APBN) serta dana yang dikumpulkan dari masyarakat. Dana haji ini merupakan uang milik jemaah. Pada tahun 2022, jumlahnya mencapai Rp143 triliun.

Harapannya, pengelolaan dana haji dilakukan secara profesional, akuntabel, dan produktif, sehingga memberikan nilai manfaat bagi jemaah. Dengan demikian, dana ini bisa membantu mengurangi biaya haji dan meningkatkan kesejahteraan calon jemaah haji.

Panjangnya antrian  haji membuat Ketum IPHI Erman Suparno menyerukan  pada pemerintah untuk berubaya memperpendek antrian haji. . (Foto: Bambang Eros – VOI, DI: Raga Granda – VOI)

Panjangnya antrian  haji membuat Ketum IPHI Erman Suparno menyerukan  pada pemerintah untuk berubaya memperpendek antrian haji. . (Foto: Bambang Eros – VOI, DI: Raga Granda – VOI)

Dana haji itu idealnya dimanfaatkan untuk apa saja?

Yang paling penting, dana haji harus aman. Jika diinvestasikan, harus memilih instrumen yang paling aman, misalnya obligasi negara. Jika ingin disimpan di bank, pilihlah bank BUMN Syariah. Ini bukan soal diskriminasi, tetapi demi keamanan.

Ada isu kalau dana haji dimanfaatkan untuk infrastruktur. Jika benar, apakah sudah sesuai?

Hal ini harus diperhatikan dengan sangat hati-hati karena dana haji merupakan dana masyarakat dan harus digunakan sesuai aturan yang berlaku. Jika ada isu bahwa dana haji digunakan untuk infrastruktur, maka harus segera diklarifikasi. Jika memang benar ada penggunaan dana untuk itu, maka harus segera dikembalikan. Ini adalah dana umat yang akan berangkat ibadah.

Antrean panjang ibadah haji membuat munculnya layanan haji plus dan haji furoda. Yang berduit bisa mengambil furoda, sedangkan yang tidak harus antre lama. Bagaimana Anda melihat realitas ini?

Adanya haji furoda merusak keadilan. Mereka yang berduit bisa berangkat tanpa antre, sementara yang lain harus menunggu lama. Ini tidak adil dan seharusnya dihapuskan. Haji furoda tidak mendidik serta tidak mengajarkan disiplin.

Di sisi Allah, semua jemaah memiliki kedudukan yang sama, baik haji reguler, ONH Plus, maupun haji furoda. Seharusnya, seluruhnya masuk dalam sistem haji reguler. Jika ada yang di luar itu, sering muncul kasus. Misalnya, tahun lalu ada tambahan kuota haji sebanyak 20 ribu, yang diberikan untuk haji non-reguler, namun akhirnya bermasalah.

Ada wacana untuk mengamandemen UU tentang Pengelolaan Keuangan Haji. Apa tanggapan Anda?

Dalam upaya amandemen UU tentang Pengelolaan Keuangan Haji, kami dari IPHI dilibatkan sebagai narasumber. Usulan kami adalah agar pengelolaan dana haji dikembalikan ke khitahnya—harus transparan, profesional, dapat dipertanggungjawabkan, serta memberikan manfaat bagi jemaah.

Dari sisi organisasi, BPKH harus menampung unsur-unsur yang ada, termasuk Forum Badan Penyelenggara Haji dan Umrah. Orang-orang yang mengelola BPKH harus clean and clear, memiliki keahlian di bidang manajemen profesional, keuangan, serta travel penyelenggara haji, termasuk unsur Wali Amanah.

Bagaimana dengan ide pembubaran BPKH melalui amandemen ini?

IPHI adalah salah satu organisasi yang ikut melahirkan BPKH. Kami tetap mengharapkan lembaga ini tetap ada. Jika ada perbaikan, silakan saja, karena itu adalah hal teknis.

Selama ini, apakah pemanfaatan dana haji oleh BPKH sudah sesuai dengan UU?

Justru itu yang menjadi sumber perdebatan. Jika sudah sesuai dengan UU, tentu tidak akan ada keributan. Oleh karena itu, langkah DPR RI membentuk Panja untuk memperbaiki tata kelola dan keuangan haji sudah tepat.

Presiden Prabowo membentuk Badan Penyelenggara Haji (BPH). Bagaimana Anda melihat lembaga ini?

Menurut saya, kehadiran lembaga ini adalah langkah yang tepat. Sebab, khitah dari Kementerian Agama adalah mengurus semua agama, bukan hanya Islam. Tujuan pembentukan BPH adalah agar persoalan haji dapat ditangani oleh badan khusus. Selama ini, Dirjen Haji dan Umrah hanya berperan sebagai pelaksana kebijakan Menteri Agama.

Lembaga ini fokus pada haji, bagaimana dengan umrah?

Kami mendukung amandemen UU tentang Haji dan Umrah serta amandemen UU Pengelolaan Keuangan Haji. Dalam perubahan UU tersebut, secara teknis penyelenggaraan haji akan didelegasikan kepada BPH, sementara Dirjen Haji dan Umrah akan berperan dalam koordinasi. Jadi, kehadiran badan ini adalah langkah yang tepat.

Dulu ada usulan pembentukan Kementerian Haji agar sama seperti di Arab Saudi. Menurut Anda, mana yang lebih efektif, BPH atau Kementerian Haji?

Dari segi efektivitas, Kementerian Haji dan Umrah memang lebih ideal. Namun, karena ini merupakan hak prerogatif presiden, yang muncul saat ini adalah BPH. Kita dukung saja dulu. Mungkin dalam tahap awal memang perlu dibentuk badan terlebih dahulu, dan jika sudah berjalan dengan baik, bisa ditingkatkan menjadi kementerian sendiri.

Apa masukan Anda untuk perbaikan pengelolaan haji ke depan?

Kita menunggu selesainya amandemen UU yang berkaitan dengan penyelenggaraan haji. Agar UU tersebut berkualitas, harus melibatkan semua aktor terkait, termasuk pemerintah, DPR, dan masyarakat.

Harapan kami, kualitas pelayanan jemaah haji dapat meningkat, menjadi lebih baik, nyaman, dan profesional. Mulai dari tahap persiapan, pelaksanaan, hingga pasca-jemaah menunaikan ibadah haji. Mereka ini adalah kelompok potensial yang seharusnya dapat diberdayakan untuk membangun perekonomian dan membantu kesejahteraan masyarakat. Sama seperti saat saya menjadi Menteri Tenaga Kerja, saya membentuk wadah untuk pemberdayaan pasca-TKI.

 

Mengisi Masa Pensiun ala Erman Suparno

Ketum IPHI Erman Suparno termasuk orang yang santai dalam menghadapi masa pensiun, dia menyibukkan  diri pada beragam kegiatan yang berfaedah untuk masyarakat . (Foto: Bambang Eros – VOI, DI: Raga Granda – VOI)

Ketum IPHI Erman Suparno termasuk orang yang santai dalam menghadapi masa pensiun, dia menyibukkan  diri pada beragam kegiatan yang berfaedah untuk masyarakat . (Foto: Bambang Eros – VOI, DI: Raga Granda – VOI)

Pensiun dari semua aktivitas profesional adalah keniscayaan. Namun, bagi Dr. Ir. H. Erman Suparno, MBA, M.Si,, yang kini menjabat sebagai Ketua Umum Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia (IPHI), sejatinya ia tidak berhenti beraktivitas. Justru, ia memiliki beragam kegiatan yang membuatnya tetap aktif dan terus berpikir bagaimana membawa organisasi yang dibinanya maju dan berkembang.

"Pensiun itu bukan akhir dari segalanya. Justru saya malah semakin banyak aktivitas. Setelah pensiun dari perusahaan, legislatif (DPR RI), dan eksekutif (Menteri Tenaga Kerja), saya tetap berpikir dan beraktivitas selama masih diberi umur dan kesehatan oleh Allah SWT. Itu prinsip saya," ujar pria kelahiran Purworejo, 20 Maret 1950.

Belum lama ini, ia mendirikan Yayasan Pencipta Lagu Panggung Hiburan Seluruh Nusantara. "Ini wadah bagi penyanyi, pengamen, dan pegiat hiburan lainnya. Lewat lembaga ini, kami membantu penyanyi dan pekerja seni menarik royalti yang ada. Kami berkolaborasi dengan lembaga yang sudah ada, jadi saling melengkapi," ujar pendiri Yayasan Samiaji ini.

Tak hanya di bidang seni, Erman juga membina Asosiasi Pedagang Mi dan Bakso Seluruh Indonesia (Admiso). "Jumlah mereka banyak, lho! Dari yang berjualan keliling sampai yang punya outlet di mal dan pusat perbelanjaan, jumlahnya sekitar 6,5 juta," ungkap mantan anggota DPR RI dari Partai Kebangkitan Bangsa periode 1999–2004.

UMKM seperti pedagang mi dan bakso, menurut Erman, adalah soko guru yang menopang ekonomi nasional. "Mereka ini kuat, tangguh, dan mandiri. Ini tak bisa dipandang sebelah mata. Peran mereka nyata dalam perekonomian kerakyatan dan harus mendapat perhatian dari negara," ujarnya.

Amanat Gus Dur

Meski Gus Dur telah tiada, Erman Suparno tak lupa dengan wasiat yang  ia terima dari Gus Dur soal pemperdayaan  santri agar tak hanya penguasai ilmu agama, namun juga ilmu pengetahun dan keterampilan. (Foto: Bambang Eros – VOI, DI: Raga Granda – VOI)

Meski Gus Dur telah tiada, Erman Suparno tak lupa dengan wasiat yang  ia terima dari Gus Dur soal pemperdayaan  santri agar tak hanya penguasai ilmu agama, namun juga ilmu pengetahun dan keterampilan. (Foto: Bambang Eros – VOI, DI: Raga Granda – VOI)

Di bidang sosial keagamaan, ia membentuk Komunitas Masyarakat Pesantren Indonesia. "Ini wasiat almarhum Gus Dur. Dia bilang santri-santri harus dibantu agar bisa mandiri dan profesional. Jadi, alumni pesantren tak hanya mengerti agama, tapi juga ilmu dan sains lainnya. Kami berikan masukan dalam kurikulum pesantren agar ada tambahan ilmu dan keterampilan," jelas Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Indonesia era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ini.

Menurut Erman Suparno, santri harus modern dan profesional, sebagaimana yang diinginkan Gus Dur. "Jadi, tak hanya modern, tapi juga profesional. Santri harus beradaptasi dengan perkembangan zaman tanpa menghilangkan jati diri mereka sebagai santri," terangnya.

Melalui lembaga ini, ia membantu mencarikan dana dari lembaga nasional dan internasional yang peduli terhadap pemberdayaan masyarakat. "Saya bantu mencarikan dana untuk kegiatan yang bertujuan menjadikan para santri lebih modern dan profesional," tambahnya.

Kasti dan Balapan Sapi

Sejak muda sudah  suka dengan olahraga, kini meski tak sesering dulu  dia tetap berolahraga untuk menjaga kebugaran. (Foto: Bambang Eros – VOI, DI: Raga Granda – VOI)

Sejak muda sudah  suka dengan olahraga, kini meski tak sesering dulu  dia tetap berolahraga untuk menjaga kebugaran. (Foto: Bambang Eros – VOI, DI: Raga Granda – VOI)

Erman Suparno memiliki kenangan manis dengan masa kecilnya yang diwarnai beragam aktivitas dan olahraga tradisional. "Saat masih kecil di kampung, saya suka sekali main kasti dan balapan sapi, kerbau, serta kuda. Dulu saya sempat jadi joki, hehehe," kenangnya sambil tertawa.

Seiring waktu dan kepindahan ke kota, Erman mulai menyukai tenis dan golf. Namun, kini semua itu tak lagi ia lakoni karena faktor usia. "Tenis saya hentikan karena alasan kesehatan, sempat cedera kaki. Sedangkan golf saya tinggalkan saat menjadi anggota DPR RI dan Menteri Tenaga Kerja. Saya ingin menghindari lobi-lobi yang terjadi di lapangan golf karena itu bisa masuk kategori gratifikasi. Daripada terganggu, saya hentikan saja aktivitas golf," ujar Erman yang sekarang memilih olahraga jalan kaki dan bersepeda statis di rumah.

Yang paling ia khawatirkan, lanjut Erman, adalah masuk dalam grup pegolf oligarki. "Orang yang melobi itu pasti punya kepentingan. Hidup itu pilihan. Saya memilih menghindari orang-orang yang akan melobi saya. Tujuan saya sederhana: menjaga harga diri dan nama baik," tegasnya.

Resep hidup yang ia jalani adalah menjaga keseimbangan antara hablun minallah (hubungan kepada Allah) dan hablun minannas (hubungan kepada sesama  manusia). "Itu pesan guru-guru dan orang tua yang saya jaga agar hidup bisa lebih tenang," ujar Erman Suparno menutup perbincangan.

"Adanya haji furoda itu merusak keadilan. Yang berduit bisa berangkat tanpa antre, sementara yang tidak harus menunggu lama. Ini tidak adil. Harusnya dihilangkan. Haji furoda tidak mendidik dan tidak mengajarkan disiplin. Di sisi Allah, semua jamaah haji sama, baik haji reguler, ONH Plus, maupun haji furoda. Statusnya sama-sama tamu Allah,"

Erman Suparno