Bagi masyarakat awam, Febri Diansyah adalah salah satu nama yang pasti dikenali kala televisi memberitakan isu pemberantasan korupsi. Bagi wartawan, ia lebih dari itu. Febri adalah sumber informasi sekaligus teman bertukar pikiran. Ya, meski kami tahu banyak pula hal yang ia rahasiakan. Tapi, kepalanya jelas kaya akan pandangan. Tak heran. Sebab, sebelum menempati posisi Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Febri dikenal sebagai aktivis antikorupsi. Kemarin, kami menemui Febri, menangkap segala keresahannya sekaligus melihat isu pemberantasan korupsi dari kacamatanya.
Kami tiba di Gedung Merah Putih KPK sekitar pukul 15.15 WIB. Sebelum masuk, kami terlebih dulu menyapa rekan-rekan wartawan yang bersantai di lobi utama gedung. Aktivitas tak begitu sibuk. Namun, antusiasme kami tak berkurang barang sedikit. Tetap saja, senang rasanya kembali ke Gedung Dwi Warna. Beberapa menit bercengkrama dengan rekan wartawan, kami segera memasuki gedung.
Jujur saja. Meski telah cukup lama melakukan peliputan rutin di Gedung KPK, kesempatan mengakses sofa tamu di dalam gedung adalah hal yang langka. Selanjutnya, petugas memeriksa tas dan barang bawaan kami lainnya. Kartu identitas pengunjung berwarna biru pun kami dapat. Syukurlah kartu biru. Sebab, meja tamu KPK mengenal satu kartu lain berwarna merah yang biasa diberikan kepada saksi atau pun calon-calon tersangka kasus korupsi saat menjalani pemeriksaan.
Wawancara kami dengan Febri sore itu berlangsung di Perpustakaan KPK. Kami naik ke perpustakaan sekitar 16.00 WIB. Suasananya tampak sepi. Udara dingin menusuk seketika kaki memasuki sisi lain pintu kaca penghubung ruang perpustakaan. Mata kami melihat-lihat dan mengidentifikasi berbagai buku seputar korupsi di sejumlah rak buku. Kami benar-benar di markas para pemberantas korupsi.
Kami naik ke lantai dua perpustakaan. Sekitar 30 menit kami menunggu di sebuah sofa warna merah. Hingga suara yang kami kenali terdengar di lantai bawah perpustakaan. Febri terdengar berbincang, entah dengan siapa. Febri menghampiri kami dengan cangkir putih di tangan kanannya. "Aku sambil ngopi, ya. Agak ngantuk soalnya," kata Febri sambil tersenyum.
Terlihat, wajah Febri memang menunjukkan raut lelah. Ia kemudian menawarkan agar kami menyeduh kopi kami sendiri. Kopi spesial KPK, kata Febri. Obrolan dimulai tanpa gelas kopi lain --selain kopi Febri-- di meja. Di detik awal obrolan itu, kami langsung menemukan senyum di wajah Febri. Pertanyaan tentang penghargaan sebagai aktivis paling berpengaruh yang ia dapat dari Charta Politika di tahun 2011 pemicunya.
Eksposur media massa terhadap Febri yang saat itu aktif di Indonesia Corruption Watch (ICW) konon jadi penyebab bagaimana penghargaan itu jatuh ke tangannya. Saat itu, dari posisinya sebagai penggerak program monitoring hukum dan peradilan, Febri kerap memberi pernyataan tentang korupsi Wisma Atlet, UU KPK, serta berbagai kasus lain. Namun, ICW bukan lah titik di mana Febri memulai perlawanannya. Sejak menempuh pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta tahun 2002 hingga 2007 silam, pria berdarah Minang itu telah membangun kebencian terhadap korupsi.
"Saya pikir, mungkin salah orang pada 2011 saat itu. Tapi, setelah dijelaskan, 'Enggak ini kita menilai berdasarkan intensitas publikasi di media.' Misalnya, untuk isu tertentu. Waktu itu yang agak heboh, wisma atlet. Kemudian wisma atlet yang melibatkan Nazaruddin (eks Bendahara Umum Partai Demokrat), soal revisi UU KPK dan beberapa isu lain 2010 dan 2011."
"Banyak orang bicara soal netral, sikap netral. Nah, sekarang apakah mungkin seorang terpelajar bersikap netral dalam kondisi timpang? ... Seorang terpelajar bersikap netral saja, akhirnya dia akan menguntungkan orang-orang yang punya posisi lebih kuat. Itu menggugah sekali."
Selain itu, ada juga kata-kata yang selalu diingat dan membuatnya terpacu untuk selalu mengaplikasikan ilmunya untuk membantu pemberantasan korupsi. "Di ijazah ada tertulis satu kalimat yang mungkin biasa saja. Tapi secara pribadi bagi saya maknanya agak berbeda," ungkap Febri yang kemudian menyeruput kopinya.
"'Dengan ini diberikan gelar Sarjana Hukum beserta seluruh hak dan kewajibannya'. Hak Anda sebagai Sarjana Hukum adalah Anda berhak mendapat gelar akademik SH itu ... Tapi, ada kewajiban yang Anda perlu juga ingat ... Kewajiban pada masyarakat."
Ke KPK untuk jadi penyidik
Menjadi aktivis antikorupsi selama enam tahun membuat Febri merasa terpanggil masuk ke dalam lingkaran lembaga antirasuah. Pada tahun 2013, akhirnya dia tergerak untuk mendaftar ke KPK lewat program Indonesia Memanggil yang merupakan program penerimaan pegawai KPK.
Saat itu, cita-cita Febri adalah menjadi penyidik KPK. Cita-cita itu terpicu oleh banyaknya penyidik KPK --yang berasal dari kepolisian-- ditarik kembali ke kesatuan Bhayangkara di tengah pengusutan kasus besar. "Kemudian, dikatakan, KPK butuh penyidik lebih banyak untuk mendukung kerja pemberantasan korupsi. Tahun depannya, saya daftar tapi tidak lulus," kata Febri.
Dia mengatakan, alasan ketidaklulusannya sebagai penyidik KPK karena saat itu lembaga antirasuah tersebut tak membuka lowongan untuk menjadi penyidik. "Kedua, yang bisa menjadi penyidik di KPK di aturan yang lalu, kalau sudah jadi pegawai selama dua tahun kemudian tes lagi," ungkapnya.
Tak menyerah, Febri pun kembali melamar posisi lain yang juga berkaitan dengan pengungkapan kasus korupsi yaitu penyelidik. Dia sempat yakin bakal lolos sebagai penyelidik, apalagi kala itu ia telah mengikuti proses panjang dalam seleksi penerimaan. Namun, Febri tetap gagal di tahap akhir. Alasannya, Febri terlalu sering terekspos media massa selama menjadi aktivis antikorupsi di ICW. Akhirnya, Febri pun bergabung dengan Direktorat Gratifikasi KPK.
"Pokoknya, kalau ikut tesnya, puas lah. Mencoba berbagai hal dari mulai gambar rumah dan pohon sampai saking dinginnya ruangan (ujian) sampai ingusan," Febri berkelakar.
Menjadi Juru Bicara KPK
Setelah berkecimpung di bidang pencegahan, Febri kemudian ikut dalam proses seleksi untuk menjabat sebagai Juru Bicara KPK. Saat itu, posisi juru bicara yang cukup lama ditempati oleh Johan Budi --yang kini jadi anggota DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan-- kosong. Sebab, saat itu JB --sapaan akrab Johan Budi-- diangkat menjadi Plt Pimpinan KPK.
Febri menyadari beratnya menggantikan posisi JB sebagai juru bicara. Bagaimana pun, saat itu JB adalah wajah dari KPK. Sembilan tahun --2006 hingga 2014-- JB menjadi mulut KPK. Namun, membiarkan posisi juru bicara kosong adalah kesalahan. Sebagai lembaga yang diandalkan dalam pemberantasan korupsi, KPK memiliki tanggung jawab untuk menyampaikan proses terkait penegakan hukum. Bias informasi tak boleh terjadi.
"KPK punya tanggung jawab ke publik untuk menjelaskan apa yang sudah dilakukan dan menjelaskan perkembangannya. Meski tidak semua, tapi ada hal-hal pokok yang harus disampaikan dan itu tidak mungkin disampaikan orang per orang oleh pimpinan. Sementara, pimpinan kita ada lima. Kalau ada perbedaan informasi, justru jadi kelemahan."
Pandangan menarik diungkap Febri dalam persoalan ini. Menurutnya, KPK tak boleh bergantung hanya pada satu orang. Pun dalam posisi juru bicara. Menurutnya, akan lebih baik jika ada batasan waktu untuk jabatan juru bicara. Kaderisasi, bagaimana pun adalah hal penting untuk mencegah ketergantungan sebuah lembaga terhadap satu tokoh. Ungkapan yang barangkali jadi pelecut semangat banyak orang di luar sana untuk jadi Johan Budi atau Febri Diansyah selanjutnya.
"Karena, kalau sistemnya baik, didesain soal pengelolaan informasi, siapapun bisa jadi jubir, sepanjang ada kondisi khusus yang harus dipenuhi. Jadi, tidak harus orang seperti Johan Budi atau Febri Diansyah. Enggak perlu. Lupakan nama-nama itu. Semua orang yang punya kompetensi, bisa."
Febri sendiri sudah jadi penyambung lidah KPK sejak 2016. Sejak saat itu juga, rutinitasnya berubah. Dia tak lagi bisa pulang tepat waktu untuk berkumpul bersama keluarga. Waktunya untuk sang anak hanya tersedia di pagi hari. Biasanya, sebelum menjadi seorang juru bicara yang berwibawa di KPK, dia memulai harinya menjalankan tugas 'konstitusional rumahan', yakni mengantar anaknya bersekolah.
Setelah mengantar anaknya, dia kemudian menyempatkan diri untuk menjawab pertanyaan wartawan terkait isu di lembaga antirasuah melalui pesan singkat di telepon genggamnya. Ini adalah suatu keharusan, walau dirinya tengah cuti di hari kerja. Sebagai pewarta yang cukup lama bertugas di KPK, kami hapal betul rutinitas Febri membagikan jadwal pemeriksaan saksi dan tersangka atau perkembangan terbaru dari penegakan hukum di Gedung Merah Putih.
Febri adalah orang yang sibuk. Sepanjang wawancara dengan kami saja ia terus memegang telepon genggamnya. Namun, menjaga relasi dengan pewarta adalah hal yang wajib. Bagi Febri, wartawan adalah bagian dari perjuangan antikorupsi. Ia bahkan menyebut media sebagai salah satu cara KPK melakukan check and balance. Ketika ada kasus korupsi yang jalan di tempat, misalnya. Media akan hadir sebagai pengkritik pertama.
Menurut Febri, hubungannya dengan wartawan memiliki keunikan. Di satu sisi ia wajib menjawab pertanyaan wartawan. Namun, di sisi lain, ia juga harus mengerem pernyataannya sendiri. Febri ingat betul ketika ada pewarta yang tertidur saat konferensi pers penetapan tersangka dan langsung bertanya sesaat setelah terbangun. Atau ketika seorang wartawan mengarahkan pertanyaan untuk disesuaikan dengan narasi yang hendak ditulis. Namun, segalanya tetap menyenangkan bagi Febri.
"Press room KPK adalah tempat terbaik, yang paling baik untuk berlatih (kesabaran) saya kira. Bagi Anda yang punya pengalaman berada di press room KPK, itu akan sangat berpengaruh bagi hidup Anda, baik sebagai jurnalis maupun juru bicara atau pegawai humas. Itu tidak akan terlupakan,"
KPK butuh kontrol publik
Di balik berbagai polemik soal Undang-Undang (UU) Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang dianggap melemahkan kerja KPK, Febri menyampaikan pandangannya.
Menurutnya, KPK sebagaimana lembaga yang lain, diisi oleh manusia-manusia yang tak luput dari kesalahan. Maka, kontrol tetap penting dilakukan. Dan kontrol publik adalah seideal-idealnya kontrol bagi KPK.
"Polisi, jaksa, KPK sama-sama penegak hukum, belum tentu seratus persen benar. Makanya harus dikawal," kata Febri.
Hal ini berkaitan dengan partisipasi masyarakat luas dalam pemberantasan korupsi. Febri mengingatkan bagaimana peran serta masyarakat amat dibutuhkan dalam upaya pemberantasan korupsi. Selain itu, tentu saja sinergitas antara lembaga jadi kunci.
"Karena enggak mungkin kita bicara soal perbaikan sistem, mencegah korupsi kalau instansi pemerintahnya setengah hati. Di depan KPK bilang antikorupsi, di belakang terima suap. Itu enggak boleh. Mestinya semangatnya harus sama," tutup Febri, Sang Mulut Lembaga Pemberantas Korupsi.