[KULTUR POP] Ario Anindito | Tentang Komikus yang Tak Sekadar Menggambar Bagus
Komikus Indonesia Ario Anindito (Mahesa ARK/VOI)

Bagikan:

Kultur pop tanah air sedang berkembang dengan pesat. Tak sedikit dari mereka yang mulai mengasah kemampuannya dalam membuat karya. Jago menggambar pun belum tentu cukup. Soal menjadi komikus, kami mewawancarai Ario Anindito yang telah membuat banyak karya bagi Marvel dan DC Comics.

Dari Jalan Sawo, Gondangdia, kami berangkat menuju Kota Kembang, Bandung untuk menemui Ario. Perjalanan selama empat jam dari Jakarta, harus kami lalui agar terhindar dari kemacetan di Tol Cikampek yang tidak bisa ditebak. 

Sekitar pukul 15.20 WIB, kami akhirnya menemui Ario dan istrinya Farah di sebuah kafe bernama Giggle Box di kawasan Buah Batu, Bandung. Bila tidak memperkenalkan diri, mungkin orang awam tidak akan sadar bahwa pria ini telah membawa nama Indonesia di kancah internasional.

Banyak komik jagoan dari Marvel dan DC Comics telah digambarnya. Tak terhitung berapa banyak karakter superhero yang digambarnya, seperti Hulkverine, Wolverines, Avengers, Agent of Shield, hingga Star Wars.

"Yah kan memang sudah sering seperti itu (terkenal di luar negeri, kurang dikenal di dalam negeri),” canda Ario, Selasa, 19 November.

Sembari menyeruput cappuccino, Ario menuturkan pengalamannya hingga menjadi seorang komikus untuk Marvel Comics. Cerita dimulai dari kecintaannya membaca komik setiap akhir pekan. Berjam-jam lamanya Ario menikmati cerita dan gambar jagoan imaji.

Hobinya membaca komik, disalurkannya dalam coretan bergambar karakter-karakter jagoan di secarik kertas. Ketekunannya dalam kegiatan imaji, terus dikembangkannya hingga kini dan berkarier sebagai seorang komikus.

"Gue bukannya baru belajar kemarin sore terus langsung keterima di Marvel. It takes years, dari gue ketemu Brian Bolland waktu 2009 sampai akhirnya karya gue tembus ke DC Comic sekitar 2012. There is a proses, banyak yang harus gue lewatin,"

Ario Anindito

Ario Anindito saat menggambar karakter komik (dok. Instagram @Arioanindito)

Terjun ke dunia pop kultur

Bisa menjadi komikus untuk perusahaan asing sebenarnya merupakan sebuah kejutan bagi karir Ario. Ia bersyukur dengan adanya teknologi Internet yang menjadi medium baginya untuk memajang hasil-hasil karyanya di berbagai situs seni.

Awalnya, Ario merasa kurang yakin. Namun, akhirnya ia memutuskan untuk menjalin kerjasama dengan agen tadi, yang tahun 2012 kemudian menghubungkannya dengan perusahaan pesaing Marvel, yaitu DC Comics. Salah satu komiknya yang dirilis oleh DC Comics adalah “Red Hood and the Outlaws #10”

Bakatnya pun kemudian dilirik oleh Marvel tahun 2014. Bisa bekerja untuk Marvel pun tidak mudah. Ario harus melalui semacam proses audisi dengan tuntutan deadline yang begitu padat. 

Oleh Marvel Ario dipercaya sebagai penciler dan inker. Biasanya, naskah yang ia terima dari penulis di Marvel kemudian ia pelajari dan pindahkan ke kertas dalam bentuk panel-panel komik untuk satu komik atau 20 halaman. Proses mengerjakan satu komik biasanya memakan waktu lima minggu.

"Sejak saat itu gue pikir-pikir, kayaknya asyik juga nih kalau gue bisa menentukan alur sebuah cerita," kata komikus yang sedang mengerjakan komik Sword Master & Shang-chi: Master Class.

Mengingat ia bekerja dari Bandung, perbedaan waktu terkadang menjadi tantangan baginya, karena jam kerja yang terbalik. Tak jarang dalam mengerjakan satu gambar komik, Ario harus sampai begadang sampai pagi. 

Jelang sore, Ario mulai membicarakan industri komik yang sedang berkembang pesat, ditambah kemunculan komik-komik daring di tanah air. Berbeda dari tahun-tahun sebelumnya, dalam memajang karyanya. 

"Kalau tidak tembus platform seperti Webtoon atau Ciayo, masih ada Instagram untuk menampilkan karya dan gambar-gambar kita. Misalnya komik tahilalats dan komikgajelas, jadi enggak ada lagi karya tidak bisa dipajang," lanjutnya.

Dengan adanya Internet, menurut Ario para seniman komik dapat belajar memalui tutorial dari YouTube atau Website lain di Internet. Selain itu industri komik di Indonesia juga ditunjang oleh para penerbit lokal yang bersedia menerbitkan komik baik secara fisik maupun komik daring melalui Internet.

Belum lagi fasilitas dan perkembangan teknologi yang membuat orang semakin mudah untuk menggambar. Menghasilkan karya tidak lagi terbatas di atas kertas, pensil atau penghapus. Kini bisa melalui tablet atau smartphone ditambah banyaknya tools dan aplikasi yang mempermudah sebuah karya. 

“Nih bahkan istri gue udah bisa gambar, di smartphone ada aplikasinya,” katanya yang juga lulusan S1 Arsitektur Universitas Parahyangan.

Jadi tidak ada lagi, alasan komikus muda untuk berkarya. Tapi yang harus dipikirkan, bagaimana seorang komikus dapat mempertahankan konsistensinya dalam pembuatan komik dan kualitas dari komik yang dibuat, bahkan harus bisa meningkat.

Para komikus harus sadar sudah sejauh apa kualitas komiknya. Ario menambahkan bahwa sharing sesama komikus juga penting agar nantinya komikus semakin tahu kekurangan apa yang harus diperbaiki.  

"Itulah mengapa gue merasa kita sebagai profesional perlu sharing, supaya mereka tahu kualitas yang harus dikejar tuh sampe mana, terus cara-caranya tuh apa saja. Gue bisa gambar, (nanti bakal disharing) sebenernya tuh format komik US tuh di kertas apa sih, terus gimana sih prosesnya hingga hasilnya seperti apa, karena tanpa sharing seperti itu nanti mereka enggak tahu harus apa," ujar pria yang juga berprofesi sebagai Art Director untuk iklan dan film di Indonesia ini.

Fame and Fortune bukan tujuan

Tak pernah terbayangkan oleh Ario bisa menjadi terkenal dan sering muncul di televisi. Sebab memang ketenaran semacam itu bukanlah yang keuntungan yang dicarinya. Ario hanya berpesan agar komikus muda kiwari lebih berusaha untuk mengasah kemampuannya dalam menghasilkan sebuah karya. 

Ario hanya ingin menginspirasi anak-anak muda agar terus berusaha. Ia menunjukkan bahwa dirinya yang merupakan seorang anak pinggiran Bandung, kini berhasil menembus Marvel. Namun itu semua tidak instan, semua membutuhkan waktu. 

"Gue dulu enggak peduli sama itu (fame and fortune), yang gue peduliin adalah gue suka gambar. Kebetulan karena gue suka gambar akhirnya tembus ke Marvel, dari situ baru gue dapet exposure, exposure membawa ke fame, orang jadi tahu siapa itu Ario. Tapi apakah itu jadi tujuan gue? enggak. i never thought about it, apalagi gue orang yang introvert," ungkapnya.

Menjadi seorang komikus, bukanlah perkara mudah apalagi cuma jago menggambar saja. Butuh konsitensi dan ketekunan dalam menghasilkan sebuah karya yang baik. 

Besar harapan Ario, jika kualitas dari hasil karya anak bangsa kita terus dijaga dan dikembangkan, pelan tapi pasti bisa menjadi besar seperti industri komik di Amerika atau Jepang.