Indonesia memiliki potensi tanaman obat yang kaya dan ramuan obat tradisional sudah dikonsumsi masyarakat turun-temurun. Karena itu Ketua Umum IAI (Ikatan Apoteker Indonesia) Apt. Drs. Nurul Falah Eddy Pariang mendukung penuh agar obat tradisional Indonesia bisa naik kelas. Ke depan obat tradisional Indonesia diharapkan bisa menjadi alternatif dan bersaing.
***
Menurut Nurul Falah Eddy Pariang, kekayaan alam Indonesia ini belum dimanfaatkan secara maksimal. “Indonesia ini negara dengan megabiodiversiti nomor dua setelah Brazil, tetapi kurang dapat memanfaatkannya dalam bentuk sediaan farmasi atau obat. Apakah itu obat tradisional atau obat mendern untuk masyarakat kita sendiri,” katanya.
Berdasarkan siaran pers BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan) pada 19 Februari 2020, potensi Indonesia ini memang jauh lebih besar dibandingkan negara lain. Tidak kurang 30.000 spesies tumbuhan maupun sumber daya laut yang bisa digunakan sebagai bahan dasar obat. Ada 9.600 spesies tanaman dan hewan yang memiliki khasiat obat belum dimanfaatkan secara optimal sebagai obat herbal. Dengan potensi ini ke depan bukan tidak mungkin Indonesia akan menjadi pengekspor produk herbal terkemuka di dunia.
Obat tradisional, kata Nurul punya tiga kelas. Yang paling tinggi adalah yang berstatus fitofarmaka. “Obat tradisional itu ada tiga kelas; pertama jamu, kedua obat herbal terstandar (OHT) dan ketiga fitofarmaka. Untuk menjadi fitofarmaka harus melewati uji klinik. Obat tradisional yang sudah berstatus fitofarmaka itu setara dengan obat-obat lainnya yang perlakuannya uji klinik. Alhamdulillah fitofarmaka di Indonesia sudah diakui. Ada istilahnya OMAI yaitu obat modern asli Indonesia. Kalau sudah jadi fitofarmaka itu keren, karena penggunaannya setara dengan obat-obat lainnya. Jadi bisa menjadi alternatif dan bersaing dengan obat yang sudah beredar,” katanya sembari menambahkan pertumbuhan dan perkembangan obat tradisional ini harus didukung agar bisa menambah nilai tambah dan meningkatkan perekonomian.
Meskipun obat tradisional sudah bertatus fitofarmaka dan sudah edar di masyarakat, pengawasan tetap dilakukan pemerintah dalam hal ini oleh BPOM, sebelum obat tersebut diedarkan dan setelah obat beredar di tengah masyarakat. Tujuannya agar obat yang diproduksi dan digunakan masyarakat benar-benar aman.
Selain soal obat-obat tradisonal Nurul Falah Eddy Pariang juga berbincang soal perjuangan IAI mengawal RUU Kefarmasian dan Kemandirian Farmasi Nasional, tentang kiprah apoteker di masa pandemi COVID-19 dan pemahaman publik yang masih minim soal fungsi dan peran seorang apoteker. Inilah petikan wawancara selengkapkan pada Edy Suherli dan Rifai dari VOI yang menemuinya di sekretariat IAI Pusat, di bilangan Tomang, Jakarta Barat belum lama berselang.
Bisa diceritakan perjuangan Anda dan tim dari IAI mengawal perumusan RUU Kefarmasian dan Kemandirian Farmasi Nasional di DPR RI hingga saat ini?
Alhamdulillah saya dapat pertanyaan ini. Ini juga bentuk pertanggungjawaban kami pengurus Pusat Ikatan Apoteker Indonesia dan kepada seluruh apoteker Indonesia. Jadi rancangan undang-undang itu sebetulnya sudah kita usulkan sejak tahun 2014. Sudah masuk di dalam Prolegnas (Program Legislasi Nasional) DPR RI. Waktu itu namanya adalah Rancangan Undang-undang Praktik Kefarmasian. Kita ingin mendapat perlindungan saat praktik, mirip seperti UU Praktik Kedokteran yang dimiliki para dokter.
Namun RUU Kefarmasian ini tidak dibahas, soalnya ada tiga RUU dari lembaga berbeda yang menyangkut kefarmasian. Pertama yang kami usulkan, kedua RUU Sediaan Obat, Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan. Dan ketiga RUU tentang Obat Tradisional dari Kementerian Kesehatan Pembinaan Pengawasan Obat dan Makanan. Dirjen Farmasi Kementerian Kesehatan RI minta tiga RUU ini dijadikan satu saja. IAI dan Kementerian Kesehatan setuju, namun Badan POM ingin mengusulkan RUU sendiri. Atas arahan Dirjen, RUU berubah menjadi RUU Kefarmasian dan Kemandirian Farmasi Nasional.
RUU Kefarmasian ini apa saja isinya?
RUU ini tidak hanya mencakup praktik kefarmasian, tetapi juga soal tenaga kefarmasian, kita tahu tenaga kefarmasian di apotek dan tenaga teknis kefarmasian. Ini harus diatur sedemikian rupa sehingga menjadi human capital di bidang farmasi yang tanggungjawab dan tugasnya berbeda dan yang paling penting keduanya menjadi profesional. Setelah itu mengatur soal praktik kefarmasian itu sendiri. Tugas apoteker itu menjamin menjamin sediaan farmasi atau obat sejak obat itu dibuat, didistribusikan dan dilayankan kepada pasien.
Yang paling ketinggalan itu di pelayanan kefarmasian. Orang ke apotek kadang cuma beli obat, padahal yang lebih penting adalah informasinya dari apoteker. Apakah ada interaksi dengan obat lain, dan soal efek samping obat juga penting. Ini semua bisa ditanyakan ke apoteker.
Lalu upaya-upaya kefarmasian, fasilitas kefarmasian, produk kefarmasian, penelitian dan pengembangan kefarmasian. Belajar dari pandemi COVID-19 kita tidak mandiri dalam memproduksi obat, kita juga mengusulkan soal kemandirian farmasi nasional.
Mengapa hal ini penting diusulkan?
Soalnya Indonesia ini negara dengan megabiodiversiti nomor dua setelah Brazil, tetapi kurang dapat memanfaatkannya dalam bentuk sediaan farmasi atau obat. Apakah itu obat tradisional atau obat mendern untuk masyarakat kita sendiri. Kemudian kemajuan teknologi informasi itu luar biasa pesat. Sekarang pembelian obat bisa secara online. Nah bagaimana orang beli obat secara online tapi tetap aman. Lalu hubungannya dengan BPJS juga kita diatur, kita pengin mendapatkan kapitasi parsial di dalam BPJS, tidak hanya tenaga medis.
Nah yang terakhir yang ingin kita sisipkan di dalam RUU Kefarmasian, bahwa mendidik tenaga kefarmasian itu sesuai dengan standar kompetensi yang kita buat. Apoteker yang lulus nanti sudah sesuai dengan yang kita harapkan.
Harapan teman-teman apoteker RUU ini kapan dituntaskan?
Karena persoalan ini mendesak kita ingin RUU ini masuk dalam Prolegnas prioritas. Dan semoga segera dibahas dan disahkan.
Saat RUU Kefarmasian ini belum selesai dibahas, untuk urusan kefarmasian mengacunya ke UU atau peraturan apa?
Rujukan kita UU Kesehatan Nomor 36 tahun 2009 pasal 108. Ada pasal tersendiri tentang praktik kefarmasian. Itu sudah sesuai harapan kami mulai dari pengadaan, penyimpanan, pendistribusian, pelayanan obat atas resep dokter pelayanan informasi obat, dan obat tradisional harus disiapkan oleh tenaga kefarmasian. Lalu ada peraturan pemerintah nomor 51 tahun 2009 tentang pekerjaan kefarmasian. Kemudian UU Tenaga Kesehatan Nomor 36 tahun 2014 itu dia mengatur itu. Di bawah PP 51 banyak Peraturan Menteri Kesehatan mengatur kefarmasian. Cuma semua ini tersebar di beberapa peraturan. Bahkan dalam UU Narkotika dan Psikotropika juga melindungi apoteker. Harapannya semua itu terkumpul dalam satu UU.
Selama pandemi kemarin apa yang dilakukan IAI?
Kami ikut membentuk satgas COVID-19, yang mengurusi keamanan apoteker praktik, pakai APD, jaga jarak dan seterusnya. IAI juga mengumpulkan obat-obat imunomodulator, masker yang didonasikan untuk yang membutuhkan. Saat Kemenkes meminta relawan kami juga bisa menyediakan dari kalangan apoteker.
Satgas juga berupaya mengumpulkan obat-obat imunomodulator yang akan diuji klinik. Kebetulan ada program BRIN yang akan menguji obat tradisional yang bersifat imunomodulator atau meningkatkan imun tubuh. Kita berpartisipasi dengan bekerjasama dengan BRIN, BPOM dan Kemenkes. Kami mengajak Gabungan Perusahaan Jamu untuk menawarkan produk jamu mereka yang akan diuji klinik. Sayang sekali program ini tidak bisa dilanjutkan.
Kenapa tidak bisa dilanjutkan?
Karena ada persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi, padahal obat yang akan diujikan itu yangs udah terdaftar di BPOM sebagai obat tradisional. Jadi tinggal kita tingkatkan menjadi fitofarmaka jadi bisa diuji klinik obat ini bisa atau tidak.
Apa saja obatnya?
Ada tiga macam, pertama Soman produksi Harvest Gorontalo Indonesia, ini berupa obat tetes di mulut. Kedua Imugar produksi Deltomed. Dan ketiga obat batuk herbal juga dari Deltomed. Ketiga obat ini sudah kita usulkan untuk diuji klinik, namun terhambat soal perizinan dari BPOM. Sayang sekali gagal.
Banyak hoaks yang beredar selama pandemi COVID-19, bagaimana IAI mengatasi hal ini?
Selama pandemi kita melakukan webinar kepada anggota agar pengetahuan mereka soal COVID-19 bisa lebih banyak. Setelah itu para apoteker melakukan sosialisasi di lingkungan mereka masing-masing. Edukasi bisa dilakukan dengan webinar yang diikuti komunikas dan masyarakat umum. Kita punya format edukasi yang secara generik dinamakan Dagusibu. Yaitu dapatkan, gunakan, simpan dan buang obat secara bijaksana. Selama pandemi Dagusibu-nya tentang obat-obat COVID-19.
Selama ini orang sering meminta copy resep, saat mengalami gejala serupa dia tinggal beli obat, bagaimana pendapat Anda?
Kalau jedanya terlalu lama antara membeli obat pertama dengan berikutnya, saran saya ke dokter lebih dulu meski gejalanya sama. Karena ada penyakit yang gejalanya sama tetapi bisa saja penyakitnya berbeda. Dulu waktu dokter mendiagnosa pusing lalu dikasih obat pusing biasa, sekarang pusing juga tetapi disebabkan oleh hipertensi, ini obatnya berbeda. Dokter yang akan menetapkan untuk indikasi medis. Baru ke apotek dengan membawa resep dokter.
Penggunaan copy resep bisa untuk obat rujuk balik untuk mereka yang punya penyakit degeneratif. Seperti hipertensi, diabetes yang sudah terus-menerus minum obat. Saya usulkan untuk tiga bulan. Jadi sepanjang tiga bulan itu tidak ada gejala seperti halnya rujuk balik itu cukup dilayani oleh apoteker. Tapi nanti kalau bulan ketiga itu harus kontrol ke dokter. Atau sebulan sebelum bulan ketiga ada masalah mesti ke dokter terlebih dahulu. Sehingga kolaborasi dokter dan apoteker dibutuhkan. Pasien itu tidak cukup ditangani oleh dokter, apoteker juga.
Ada yang bilang kita adalah dokter untuk diri kita sendiri, bagaimana pendapat anda soal ini?
Jadi istilah kita adalah dokter untuk diri kita sendiri itu lebih tepat kalau untuk upaya preventif. Jadi kita berupaya jangan sampai terjangkiti penyakit dengan menerapkan pola hidup sehat. Makin berumur makanan harus selektif, lalu harus berolahraga dan menghindari rokok.
Tetapi kalau sudah sakit kita tidak akan punya kemapuan mendiagnose diri sendiri. Karena itu kita perlu dokter dan apoteker. Apoteker yang baik memiliki catatan obat pasien. Saya menganjurkan masyarakat punya dokter keluarga dan apoteker keluarga.
BACA JUGA:
Oke, China sudah merekomendasikan tiga obat tradisionalnya untuk obat COVID-19 padahal Indonesia kaya akan biodiversiti, apakah kita juga bisa?
Terkait obat ini memang kita tidak bisa mandiri 100 persen. Obat-obat yang beredar di Indonesia juga beredar di tempat lain, terutama yang diproduksi perusahaan farmasi multinasional. Yang paling penting obat itu harus teregistrasi di BPOM. Kalau tidak ada artinya obat itu ilegal, meski di Amerika misalnya terdaftar. Obat tradisional China juga sama, kalau sudah lolos dari BPOM bisa dikonsusmsi di sini.
Untuk penemuan obat tradisonal kita apa yang sudah dilakukan pemerintah?
Pemerintah sudah melakukan hilirisasi riset, kerjasama dengan perguran tinggi, perusahaan farmasi, dan praktisi seperti kami apoteker. Ini harus terus didorong dalam rangka menemukan obat-obat baru, lalu obat yang datang ke Indonesia harus diteliti apakah layak untuk edar dan akan mendapat registrasi dari BPOM.
Untuk obat tradisional bagaimana IAI mensupportnya agar bisa naik kelas?
Obat tradisional itu ada tiga kelas; pertama jamu, kedua obat herbal terstandar (OHT) dan ketiga fitofarmaka. Untuk menjadi fitofarmaka harus melewati uji klinik. Sehingga fitofarmaka itu setara dengan obat-obat lainnya yang perlakuannya uji klinik. Alhamdulillah fitofarmaka di Indonesia sudah diakui. Ada istilahnya OMAI yaitu obat modern asli Indonesia. Kalau sudah jadi fitofarmaka itu keren, karena penggunaannya setara dengan obat-obat lainnya. Jadi bisa menjadi alternatif dan bersaing dengan obat lainnya.
Bagaimana Anda melihat pengawasan untuk produksi obat tradisional baik yang skala rumahan (UMKM) dan yang sudah pabrikan?
Pemerintah menerapkan pengawasan pre-market sebelum obat itu didistribusikan dan post-market setelah didistribusikan diawasi oleh BPOM. Tinggal penggunaannya yang kurang diawasi, karena itu kami mengusulkan dokter keluarga dan apoteker keluarga yang melakukan pengawasan. Semoga obat-obat tradisional yang sudah diproduksi dengan baik bisa bersaing dan menjadi alternatif. Beberapa merek obat tradisional sekarang sudah pula dieskpor ke mancanegara. Ini harus kita dukung terus agar bisa menambah nilai tambah dan meningkatkan ekonomi.
Bagaimana pengawasan obat untuk konsumen muslim, abat tentu harus dijamin kehalalannya?
Indonesia ini kan mayoritas muslim, sehingga undang-undang jaminan halal sudah selayaknya ada. Ada Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) yang bertugas untuk persoalan ini. Kami IAI sangat mendorong pelaksanaannya meski sempat diundur. Bagaimana pun kita mengonsumsi obat penginnya yang halal. Sepanjang ada yang halal obat yang tidak halal tentu tidak digunakan, kecuali darurat.
Saya mendorong agar perusahaan farmasi didaftarkan untuk mendapatkan sertifikat halal, supaya masyarakat muslim tidak ragu-ragu mengkonsumsi obat tersebut. Kalau ada produsen obat yang menggunakan bahan baku dari yang non halal, dia harus memberitahukan artinya harus terbuka.
Kekuatan Doa dalam Aktivitas Nurul Falah Eddy Pariang
Doa bagi Ketua Umum IAI (Ikatan Apoteker Indonesia) Nurul Falah Eddy Pariang punya posisi yang amat penting. Meski dia juga menjalankan langkah-langkah hidup sehat seperti orang kebanyakan, namun bagi dia doa pada Sang Khalik adalah prioritas. Setelah berdoa dan menyerahkan semuanya pada pemilik alam dan seisinya ini, dia baru melakoni cara-cara hidup seperti biasa.
“Sebagai umat beragama kiat hidup sehat pertama yang saya lakukan adalah berdoa. Saya berdoa pada yang Maha Kuasa. Ya Allah hindarkanlah aku dari penyakit dan berilah aku kesehatan. Itu yang pertama dan utama saya lakukan,” tegas pria kelahiran Wonosobo, Jawa Tengah, 23 Maret 1961 ini.
Kebiasaan berdoa ini, ia anjurkan juga pada rekan-rekannya sesama apoteker yang masih praktik melayani masyarakat. “Kepada apoteker praktik yang sedang bertugas saya sarankan untuk mendoakan orang yang datang. Mereka itu ada yang sakit atau keluarganya yang sakit agar didoakan supaya sehat,” katanya.
Jadi tak semata-mata mengandalkan upaya melalui obat yang diberikan, namun peran serta Yang Maha Kuasa juga dilibatkan. Melalui doa yang dipanjatkan itulah kesehatan paripurna diharapkan bisa diraih.
Selain penyakit fisik, Nurul juga concern pada penyakit non fisik. Ia juga memanjatkan doa pada Yang Maha Kuasa agar dihindarkan dari kemungkaran yang akan berpengaruh pada penyakit fisik. “Ya Allah hindarkanlah aku dari kemungkaran akhlak, karena ahklak yang mungkar bisa juga menjadi penyakit, yaitu penyakit jiwa,” tandas Nurul yang memanjatkan doa setiap hari terutama di saat sujud dalam salat lima waktu.
Makanan
Yang tak kalah penting dilakukan Nurul untuk menjaga kesehatan adalah mengontrol asupan makanan yang masuk ke dalam tubuhnya. Soalnya tidak semua makanan boleh masuk ke dalam tubuh.
“Saya pilih-pilih makanan yang yang bermanfaat untuk tubuh saja yang saya konsumsi. Yang tak penting untuk tubuh saya hindari sekuat mungkin. Dulu saya suka minum minuman manis, sekarang sudah engga. Dulu saya makan karbo porsinya besar, sekarang dikurangi. Gantinya sayur, buah dan makanan yang mengandung protein,” ungkap pria yang kini juga berhenti merokok untuk menjaga kesehatan.
Meski tidak ada pantangan dalam urusan makanan, ia sudah membatasi makanan tertentu, seperti daging merah dan gorengan. “Saya mengurangi konsumsi daging merah. Juga makanan yang diproses dengan cara digoreng, jadi gorengan saya minimalisir. Dulu saya hobi sekali makan gorengan, sekarang di kantor ini saya larang makan gorengan. Kalau ada tamu gorengan diganti dengan buah-buahan,” lanjut pria yang hobbi membaca, menulis, jogging dan olahraga golf.
Selanjutnya yang ia lakukan adalah olahraga. Olahraga yang dia lakukan yang ringan dan mudah. “Olahraga tidak perlu lama-lama, minimal 30 menit sekali dalam sehari. Saya biasanya jalan kaki keliling komplek perumahan tempat berdomisili. Kalau cuaca tidak memungkinkan saya bersepeda statis yang ada di rumah,” lanjutnya sembari menyarankan olahraga di luar rumah sembari terpapar sinar mentari itu jauh lebih bagus, terutama saat dan pasca pandemi COVID-19.
Keluarga
Di tengah kesibukannya sebagai opoteker, sempat menjadi anggota legislatif di DPR RI, dan organisasi profesi serta kesibukan lainnya Nurul tetap memprioritaskan hubungan dan kebersamaan dengan anak dan istrinya. “Kebersamaan itu penting sekali. Untuk orang seperti saya ini saat ada kesempatan akan semaksimal mungkin saya optimalkan untuk kumpul bersama keluarga. Biasanya itu di weekend meski pun kadang ada meeting, dan undangan juga,” kata Nurul yang dikarunia tiga anak dari pernikahnnya dengan Emy Indriastuti, seorang perempuan dan dua laki-laki.
Jika di akhir pekan ternyata ada meeting atau undangan yang harus dihadiri, Nurul akan mencari konpensasinya di hari lain yang mereka sama-sama bisa berkumpul.
Komunikasi bagi dia juga amat penting. “Kata orang yang penting kualitas, tetapi untuk saya tidak menemukan kualitas tanpa kuantitas. Jadi kuantitas itu tak kalah penting dengan kualitas,” katanya.
Urusan menjenguk anak baginya amat penting, karena itu ia akan menyediakan waktu untuk bertemu dengan anaknya yang masih menimba ilmu di luar kota. “Komunikasi dengan anak harus dijaga, terutama saat mereka ada masalah. Kalau kita dekat dengan anak mereka akan mencari kita menyelesaikan masalahnya, bukan pada pihak lain. Ketidakharmonisan sering terjadi karena anak-anak tidak mengeluh pada orang tuanya,” kata alumni Fakultas Farmasi Universitas Gajah Mada (UGM), Yogyakarta (1987).
Orangtua, kata Nurul harus peka dengan keadaan ini. Kalau perlu harus menggali persoalan apa yang dihadapi anak-anak. “Orangtua jangan hanya bisa menyalahkan anak saat ada masalah. Lalu harus digali apa akar masalahnya,” tandas Nurul yang menekankan kepada anak-anaknya untuk menomorsatukan doa dalam menghadapi apa pun persoalan.
Agar perilaku, kata Nurul Falah Eddy Pariang yang dibaca harus baik. “Yang terbaik untuk anda adalah membaca dan memahami kitab suci agama masing-masing. Itulah yang menjadi pegangan dan pedoman hidup. Pikiran harus bagus, kata-kata juga harus bagus. Kalau semua sudah selaras akan menjadi kebiasaan dan lama-lama menjadi karater. Karakter inilah yang akan menentukan takdir kita,” katanya menyudahi perbincangan.
“Yang paling ketinggalan itu di pelayanan kefarmasian. Orang ke apotek kadang cuma beli obat, padahal yang lebih penting adalah informasinya dari apoteker. Apakah ada interaksi dengan obat lain, dan soal efek samping obat juga penting. Ini semua bisa ditanyakan ke apoteker.”